Selasa, 21 Desember 2010

Jalan Bogor-Ragunan


(Terilhami dari Jalan Bogor-Jasinga : Kumpulan Sajak Sepatu Tua, Rendra)

Anakku, hari ini kalian telah belajar banyak wacana


Perjalanan dengan tujuan adalah sebuah keindahan

karena tujuan membuat kita mudah memilih jalan

maka, tentukan tujuan hidupmu agar kalian mudah memilih jalan

Anakku, dari jalan antara Bogor sampai Ragunan
Kalian juga belajar bahwa keyakinan kuat akan menghapus ketakutan
bayang-bayang sering lebih seram dari kenyataan
maka, buatlah sebuah keyakinan bila sudah memilih jalan

Anakku, di atas sadel motor hitam bapakmu
Kalian mencerna bahwa hidup bukan untuk terlalu banyak bicara
atau terlalu banyak mendengar tapi tak berbuat apa-apa
maka, lakukanlah apa yang telah kau yakini dan rancang jalannya : jangan menunda

Berdebatlah dengan orang pintar, sehingga engkau jadi pintar
Bergaulah dengan orang kuat, maka engkau akan jadi kuat
Bertemulah dengan banyak juara, kelak engkaupun akan jadi juara

Jarak kota kita hingga Ragunan
barangkali tak sampai satu persen panjang hidup kita
tapi semoga pelajaran penting hari ini
di antara macet pasar Pondok Labu dan nikmat rehat siang di masjid pinggir jalan
menjadi pelajaran yang sempurna, bahwa hidup harusnya tak cuma mengalir saja

Tentukan tujuanmu, dan aku -bapakmu- akan membantu menyempurnakannya

----------------------------------------------

Untuk Alifa dan Diva,
Dari Perjalanan Bogor - Ragunan hari ini (201210)

Senin, 20 Desember 2010

Seorang tukang soto dengan istri dan anaknya


Tadi pagi, matahari belum terik sinarnya
di pinggir jalan yang berdebu
dengan truk tanah ramai melintas

Anak kecil itu nampak belum punya dosa
rona mukanya bercahaya, dibalut selendang kumal ibunya
ayahnya tukang soto sederhana
di sebuah pojok dekat bintaro sana

Hidup ini terasa indah buat mereka
bapak anak dengan gerobak sotonya
mengangsurkan selembar limaribu perak
untuk menyicil hutang pada petugas bank pasar
dengan senyum kemenangan
Nak, hari ini bapakmu berhasil menaklukan dunia !

Aku kecut malu dihadapan mereka
betapa tak bersyukurnya aku yang masih menyimpan selembar limapuluh ribu
dalam lindungan terpal lusuh yang menaungi gerobak soto reyot
di depan pom bensin yang berdebu
mereka bersendagurau dan tertawa
bapak dan anak dengan gerobak sotonya

Mobil bagus dengan ac yang dingin
pekerjaan hebat dengan jabatan tinggi
tak bisa menciptakan tawa seperti mereka
senda gurau lepas karena telah menaklukan dunia
dengan lembar-lembar seribu dan recehan sekedarnya

maka inilah dunia
bila uang yang kau kejar, maka kau hanya mendapat uangnya
tak ada canda ceria dengan anak yang rona mukanya bercahaya
dengan baju kumal yang entah berepa hari tak ketemu gantinya

tapi tak demikian bila bahagia yang kau kejar
tukang soto dengan gerobak sederhana itu buktinya
mustinya aku bisa banyak belajar dari dirinya

Selasa, 07 Desember 2010

Soliloqui untuk Alifa dan Diva


Nak, hari ini aku minta maaf
hanya bisa mengajakmu sarapan pagi
di kedai bubur pinggir kali

yang pembeli lain makan sambil mengangkat kaki ke atas kursi

Nak, perjalanan hari ini penuh angin
dan tentu debu yang berterbangan kesana kemari

motor bapakmu ini jadi saksi
betapa besar keinginanku membuatmu tersenyum sesekali

Tak ada baju bagus dan sepatu mahal buatmu hari ini, Nak
hanya deretan buku-buku petualangan di atas rak
dan centang perenang ilmu pengetahuan
yang barangkali bisa jadi bekalmu

Nak, tak ada emas rajabrana di lemari
atau parfum wangi di atas meja
hanya ini yang bapakmu punya
mimpi besar dan setinggi luar angkasa

Nak, bapakmu tak punya mimpi tersembunyi
mimpi bapakmu buat kamu : anak-anakku
bahwa suatu saat mimpi besar itu bisa membawa kalian
menjelalah dunia, menaklukan alam dan mencatatnya

----------------------------------------------------------------------------

Bogor, 6 Desember 2010
Antara Katulampa-Ciawi bersama Divaprillia
Untuk mereka : Alifa dan Diva

Rabu, 03 November 2010

Soliloqui dari Bogor yang makin tua


Ini adalah malam ketika bulan masih muda
Jalan Pajajaran sudah sunyi

angin enggan berdesis-desis menyanyi
para waria sibuk memoles dan mematut diri
dalam balutan pakaian seksi

mereka mulai beraksi, dan malam makin tua

Bayangan gedung paska sarjana gelap tanpa cahaya
terkantuk dalam kotak, satpam yang berjaga

barangkali dia bermimpi tertawa bahagia tidur dalam dekapan istri dan anaknya

pepohonan tua di takol juga sudah kehilangan bayangannya
kalah wibawa dan takluk pada gedung megah gemerlap di sebelahnya

dua puluh tahun lalu
kami, para mahasiswa miskin, menghabiskan waktu di sana
berpura-pura belajar, agar lupa rasa lapar yang mendera
dalam hijau rumput di lapangan depan ruang kimia
kami berdiskusi dan berdebat seolah akan menguasai dunia

Ini adalah malam air sungai ciliwung berwarna coklat tua
alirannya yang membelah jalan riau dan kebun raya saat hujan tiba
mengingatkan banyaknya kemarahan yang sia-sia
kemarahan karena dan kebingungan dan kesulitan yang mendera
padahal kata Rumi : sabarlah, karena sabar adalah kunci kebahagiaan

Salutku pada tukang bubur kacang di ujung gang Babakan
tidak mau menitipkan mimpinya pada siapa-siapa
dalam malam yang penuh kantuk,
dia setia menunggu jerangan air dan adonan ketan hitam
seperti perjalanan rumit merajut cita-cita

Kamis, 21 Oktober 2010

Kang Entang, Pelantun Nasyid yang Tuna Netra


Ini kali kedua saya melihatnya berdiri dengan "pede" di depan jamaah pengajian minggu di Andalusia Islamic Centre-Sentul City. Bukan untuk khotbah atau berceramah.

Dia bukan tokoh dalam fiksi atau rekayasa, dia ada di dunia nyata.

Perawakannya kurus bersahaja, kulit agak gelap menyembunyikan segala kemungkinan bahwa dia berasal dari ibukota Priangan yang dingin. Dituntun seorang jamaah, dia menuju ke depan mimbar untuk melantunkan nasyid-nasyid yang menyejukkan hati. Senyumnya ditebar ke kanan dan ke kiri, dengan penuh percaya diri : karena dia tak melihat puluhan mata yang menatapnya. Ya, dia - kang Entang, namanya - adalah seorang tuna netra.

Saya kira tadinya dia tuna netra yang biasa-biasa saja, tapi saat Ustadz Syafii Antonio mengenalkannya pada kami semua, barulah saya ternganga.

Kang Entang, dengan sedikit bercanda berkata, bahwa kebutaan adalah kelebihannya dibanding orang kebanyakan umumnya. Bayangkan, katanya, saat listrik sedang padam; maka orang lain akan tergagap sibuk mencari lampu untuk meneranginya saat membaca. Tapi tidak bagi kang Entang, lampu mati atau menyala, sama saja gelapnya : jadi dia tak perlu tergagap mencari penerangan seperti lilin atau sejenisnya.

Dengan "kelebihannya" kang Entang bisa menyelesaikan menghafal Al Quran dan terus mengaji. Quran yang dibacanya pun cukup istimewa, karena berhuruf Braille. Jangan bayangkan Quran ini sebagaimana Quran yang umum kita lihat dan kita baca, Quran berhuruf braille jauh lebih mahal karena lebih tebal, serta berat dan tak mudah dibacanya.

Alasan Kang Entang menghafal isi Quran cukup sederhana, karena tonjolan titik-titik dalam huruf braille punya masa kedaluarsa, makin sering di-"jamah" maka makin menipis tonjolannya : maka agar dia tak sering-sering meraba Quran-nya, dia memilih menghapalnya. Dan dengan hapalnya dia, maka Qurannya bisa dipakai tunanetra lain yang lebih membutuhkan. Sebuah pemikiran yang mulia.

Tak berhenti sampai di sana. Kang Entang menghimpun teman-teman yang senasib dengannya, membentuk sebuah Yayasan. Yayasan ini bergerak di berbagai lini, dan salah satu lini unggulannya adalah : memproduksi rekaman Nasyid yang dinyanyikan kang Entang beserta beberapa rekannya.
Niatnya sungguh mulia, bersama teman-teman se Yayasannya : dia menjalankan syiar, berkarya dan membeli Al Quran braille (yang mahal sekali haragnya) untuk didistribusikan pada tunanetra lain yang membutuhkan ; di berbagai belahan Indonesia.

Kang Entang baru beberapa hari pulang dari Mekkah menunaikan ibadah umrah. Bukan kemenangan besar melihat Baitullah yang telah dimenangkannya, tapi kemenangan besar membawa serta ibunya ke Mekkah, mengunjungi semua lokasi penting dan bersejarah serta kemenangannya "memegang Kabah".

Di akhir cerita, Kang Entang berkata (dan ini sangat menusuk saya) : Bahwa jangan jadikan "kekurangan" penghalang pencapaian mimpi kita, jadikan sahabat dan "alat kemenangan kita". Jangan jadikan dia sumber keluh kesah yang makin menjatuhkan kita dari lembah keterpurukannya.

Maka, belajar dari kang Entang, buat anda yang sedang dirundung banyak hutang, karir yang macet atau usaha yang sedang dalam kondisi kesulitan : jadikan momentum ini untuk "alat ungkit" menuju kemenangan; barangkali selama ini kita "kurang beguna" bagi orang-orang di sekeliling kita. Raih mimpi besar kita, dengan menjadikan "lingkaran besar" orang-orang bahagia di sekeliling kita. Tuhan tahu kapan saatnya.

Maka, di dinihari yang dingin berangin ini, sambil mengingat kang Entang, selamat menjadi orang yang berguna. Bismilah.

Namanya Bob si Penemu


Ya, namanya Robert Kearns, di lingkungannya dia biasa dipanggil Bob. Kisahnya diangkat dari dunia nyata, dalam sebuah kolom di NEW YORKER, ditulis oleh John Seabrook. Tahun 2008 di angkat ke Layar Lebar -dengan titel yang sama dengan judul artikel itu : Flash of Genius - disutradai oleh Marc Abraham.

Hingga suatu kejadian pada tahun 1953, Bob yang ahli fisika dan elektronika, hampir saja buta karena tutup sampanye yang dibukanya melompat dan hampir mengenai mata kanannya. Dan Bob bersyukur, Tuhan menciptakan "mekanisme" mata : bisa berkedip. Hingga suatu ketika, ketika dia berkendara dengan Ford Galaxy-nya saat hujan turun ringan, dia berfikir : alangkah enaknya bila wiper (karet pengahpus kaca) bisa berkedip sesuai keinginan kita (intermitent), seperti kedip mata kita.

Dari sinilah semua kisah berawal. Dengan kepandaiannya, diciptakanlah sebuah sirkuit yang memungkinkan wiper bisa berkedip secara intermitent, tidak konstan seperti umumnya wiper pada jaman itu. Dibantu rekannya, Gil Previck-pemilik Previck Motor Industries, dipatenkannya penemuan itu : dan ditawarkannya ke mogul otomotif pada jaman itu : FORD Motor Co.

Ford, lewat eksekutifnya, Macklyn Tyler menyetujui kerjasama tawaran itu, meminta Bob mengirim sampel dan perkiraan biaya dan harga. Setelah berjabat tangan, lalu tak ada kabar hingga tiga bulan kemudian, saat Bob secara tak sengaja menemukan bahwa penemuannya dipasang dan dijadikan nilai jual untuk Ford Mustang yang baru dirilis saat itu.

Bob berang dan meradang. Ford ingkar janji.

Tapi kisah penemu dan dibohongi industri bukan kisah sekali ini saja. Bob belajar dan mencerna. Dia tetap meradang, dan setelah sekian lama perjuangan : pengacara yang ditunjukknya bernegosiasi, memberikan kabar Ford menawarkan "damai" dengan membayar 250ribu US Dollar, tapi tak mau meminta maaf atau mengakui bahwa "intermittent wiper" adalah penemuan Bob.

Bob makin meradang, dan pengacaranya patah arang : hingga mengundurkan diri.

Bertahun-tahun, setelah sempat berobat ke sebuah Rumah Sakit Jiwa di Maryland,menggantungkan hidup dari Jaminan Sosial Negara, berada dalam cibiran banyak orang, ditinggalkan istri yang selalu mendampingi : Bob tetap berjuang. "Ini bukan sekedar masalah uang", demikian katanya.

Hingga bertahun-tahun tanpa kepastian, Bob tetap berjuang melanjutkan persoalan ini ke Pengadilan. Pihak Ford, dalam proses di luar pengadilan, menawarkan hingga 30 juta US Dollar : asal Bob mau tutup mulut dan tak melanjutkan kasusnya. Tapi, Bob, yang didukung anak-anaknya tetap maju, dan tak mau menerima tawaran itu. Ini bukan masalah uang.

Akhirnya, setelah perjuangan yang panjang dan menyakitkan, Bob yang tak didampingi pengacara, melawan raksasa otomotif FORD dengan segala kekuatannya : Bob memenangkannya. FORD harus membayar 10 juta dollar, dan belakangan Chrysler Motor Co juga membayar 18,7 juta dollar : atas pemakaian paten milik Bob secara illegal.

Bob memenangkan peperangan dengan idealisme dan konsistensinya.

Berkacalah dari Bob. Berapa gelintir dari kita yang hidup dipenuhi dengan idealisme dan konsistensi ? Iming-iming uang dan jabatan seringkali jadi peluntur utama. Perjuangan kita tak pernah sungguh-sungguh akan bermakna kemenangannya karena tak ada idealisme dan konsistensi.

Banyak dari kita pergi bekerja hanya karena kita takut pada aturan kantor, atau bahkan takut pada bos yang sering duduk di seberang meja kita. Kita takut ketika diancam tak naik jabatan, tak naik gaji atau dikeluarkan. Kita hanya jadi "kerbau penurut" yang bergerak ke kiri atau ke kanan karena atasan kita yang menyuruhnya.

Kita lupa, bahwa Tuhan mendukung idealisme dan konsistensi kita. Bob sudah jadi contohnya.

Maka, mulai hari ini : temukan lagi idealisme dan konsistensi kita. Percayalah bahwa rejeki tak datang secara cuma-cuma, atau datang karena perintah bos kita. Rejeki datang karena kita sendiri yang memperjuangkannya. Hidup ini bukan sekedar uang -mengutip kata Bob- dan saya percaya.

Semoga anda juga percaya.

Belajar dari Teman saya, Rudi


Profilnya cukup kondang sekitar lima tahun lalu. Majalah atau suratkabar mana yang tidak memuat sosok gagahnya, dengan jas dan dasi, menerima berbagai penghargaan atas prestasi yang cukup moncer dalam bidang pemasaran. Lima belas tahun dia berkarir di perusahaan hebat itu, dan kirinya melesat cepat.

Sebut saja, sahabat saya ini, namanya Rudi. Kemarin sore sosoknya kelihatan jauh berbeda dengan penampilannya di media beberapa tahun silam. Kurus, dengan muka tirus pucat pasi : menghapus semua kesan sukses yang melekat di parasnya. Dia terbaring sakit. Kata sang istri, Rudi menderita sering sakit setelah berbagai usaha yang dijalaninya gagal, dan membawa ke jurang kebangkrutan. Dalam sakitnya, Rudi masih sering bangga dengan prestasi masa lalunya, dan itu yang memperparah keaadannya.

Rudi adalah sosok berprestasi di perusahaannya, dulu. Beberapa peluncuran produk baru yang ditanganinya hampir selalu sukses. Dia organisatoris yang baik, jangkauan "kuasanya" adalah memanajemeni hampir 25 orang anak buah yang sudah terkenal handal. Kombinasi yang pas : bos yang hebat, anak buah yang handal dan perusahaan (dengan merek produk) yang kondang.

Hingga saat itu tiba. Perusahaan tempatnya bekerja diakuisisi oleh sebuah mogul bisnis mancanegara. Rudi, tak seiring dengan bos barunya, dan memutuskan mengambil program pensiun dini : dengan penuh keyakinan akan keberhasilan, berbekal reputasinya di masa silam.

Hidup yang baru sudah dimulai.

Dalam kurun lima tahun terakhir, dengan uang pensiun dini yang didapatnya, dijalaninya beberapa usaha. Joint dengan teman-teman atau bekerja sendiri. Dari distributor produk perusahaannya dulu yang kemudian hancur lebur, hingga -saat jatuh sudah sampai dasar- Rudi berkeliling berjualan sepatu di event-event musiman.

Nyaris, tak ada lagi bekas kepiawaiannya yang dulu banyak diganjar penghargaan.

Rudi, jatuh dalam jurang kekecewaan yang dalam. Jangankan mantan atasan, tak seorangpun mantan anak buah yang dulu disebut handal : datang menengok dan memberinya semangat. Hanya istrinya yang setia menemani dan terus memompanya dengan semangat. Rudi jatuh dalam penyesalan, bahwa apa yang telah diputuskannya salah besar. Dia merasa telah kehilangan kuasa, teman dan dukungan merek terkenal (yang dulu didapatnya dari perusahaan).

Mendapatinya kini dengan badan kurus, mka tirus dan pucat : saya sangat iba.

Dapatkan kita tarik sebuah pelajaran dari Rudi, yang manager penjualan hebat dari sebuat perusahaan terkenal itu. Dulu, semua meng-elukannya, bos, anak buah, teman dan relasi. Dulu semua memuji dan menghargai; tapi kini dia terseok di pojok yang sepi.

Sering dalam kehidupan, kita terlena akan sebuah "penghargaan semu". Cobalah berkaca, jabatan kita di kantor membuat atasan kita memuji dan anak buah kita menghargai. Semua klien menerima kita dengan besar hati.

Tapi, apakah sikap itu ditunjukkan pada kita : sebagai diri kita sendiri? . Prestasi kita sebenarnya adalah prestasi dari perusahaan atau produk yang kita tangani.

Kita dibelenggu oleh prestasi masa lalu, dan celakanya. banyak dari kita hanya bangga saja dengan masa lalu, tanpa tahu masa depan akan seperti apa. Sehingga banyak kesempatan besar di depan mata, dibiarkan lewat begitu saja.

Di dunia nyata, banyak penghargaan semu menjebak kita. Rudi buktinya. Kehandalannya "tidak berbunyi" ketika dia berada di luar sana. Dan cobalah kita ber-introspeksi, berapa banyak sahabat dan teman, yang kita ciptakan bukan dari kaitan pekerjaan kita di kantor. Berapa besar peran kita di dunia nyata, karena "diri kita sendiri", tanpa embel-embel jabatan, kehebatan anak buah, ketenaran perusahaan atau kekondangan merek produk yang kita pasarkan.

Kenyataan hidup tersulit adalah menjadi diri sendiri, dan keluar dari banyak "bayang-bayang" masa lalu. Sebelum semua terlambat -seperti Rudi- adalah baik memulai keluar dari berbagai "bayang-banyak" itu sedari dini.

Pasarkan keahlian atau produk anda sendiri dari kini, InsyaAllah, peluang anda sukses akan lebih cepat ketimbang menunda nanti-nanti. karena pada dasarnya kita hidup di masa kini untuk masa depan nanti. Selamat menjadi diri anda sendiri.

Semoga menginspirasi.

Dia bukan Dom Cobb si Pencuri Mimpi...


(ditulis sebagai salut untuk sahabatku : Handry Satriago)
Mengingat dia, saya teringat pemikiran "perlawanannya pada kemapanan" yang dikutip oleh Takashi Shiraisi dalam bukunya "Age of Motion"-puluhan dekade silam. Dia seperti seorang Tjipto Mangunkusumo, tapi dia bukan keturunan Jawa.
Tampil berkursi roda, dengan rambut gondrong kriwil dan jins sobek adalah sebuah "pembangkangan" bagi tradisi "tampilan anak kuliahan" di kampus kami dulu. Nama Handry Satriago, lebih senang dipanggil Agogo.
Jumat lalu, dengan suaranya yang khas: berat, lantang dan jernih, dia memukau kami -undangan yang hadir dalam pengukuhan gelar Doktor Stratejik Manajemen di FEUI- sekali lagi, dengan cara berfikirnya yang selalu berbeda dengan kebanyakan dari kami teman sebayanya.
Mengingatnya dulu, adalah mengingat masa-masa badung dan perlawanan dari rumah kontrakannya di -kami menyebutnya - "kamp H-14". Masa-masa menulis poster dan pamflet, mengagumi puisi Rendra dan berteriak mengimbangi "jeritan" Billy Joel dari tapedeck Sony-nya.
Dia adalah sutradara operet di malam kesenian angkatan kami, dengan gayanya yang terinspirasi Nobertus "Nano" Riantiarno. Dia akhirnya menjadi simbol gerakan "berbeda adalah hal yang biasa". Dia, yang akhirnya botak karena serangkaian proses kemoterapi, menjadi ikon di angkatan kami.
Dan hidup selalu berpihak pada orang yang punya mimpi besar. Ditulis di pengantar Disertasi doktoralnya " ...limitations can happen anywhere in the journey of life, but dream has to be pursued to make it come true". Prestasinya sudah melampaui kami yang dulu ikut menggendong-nya dari lantai dasar, menaiki tangga, ke laboratorium Gamtek di Lantai 4 kampus Fateta. Pencapaian mimpinya sudah jauh melampaui kami yang dulu, masih sama-sama miskin, ikut "urunan" beli soto kuning berkuah melimpah sedikit daging di depan "kamp H-14". Karena memang sejak mula, mimpinya sudah jauh lebih tinggi dari kami, para mahasiswa lurus dan biasa saja : yang diajaknya menjadi "pembangkang dari pemikiran yang biasa saja". Bahkan dalam tingkatan karier, "perlawanannya pada kemapanan berfikir biasa-biasa" membawanya pada level yang sangat tinggi : Presiden of GE Indonesia; pimpinan tertinggi di Indonesia sebuah perusahaan kelas wahid dunia.
Maka, barangkali Jumat 23 Juli 2010 kemarin menjadi sejarah besar bagi kami teman-temannya. Sudah banyak diantara angkatan kami yang menjadi doktor atau sejenisnya, tapi Agogo sudah membuktikan bahwa mimpi yang besar sudah mengalahkan segala rintangan : dan itu menjadikannya sebuah sejarah besar.
Maka mengutip kata-kata Dom Cobb (Leonardo Di Caprio) dalam film INCEPTION (2010) :" If you think that you can't get what you want in your reality life so just dreams about it, keep dreaming, until you wake up and you feel happy about it. So, just build your dreams like horizon...."
Bro Handry Agogo: saya kira anda bukan Dom Cobb, tapi itulah kata-katamu dulu. Saya harus berterima kasih pada Tuhan mempertemukan kita dalam sebuah "persimpangan jalan", di tengah banyak "persimpangan jalan" lain yang mempertemukan saya dengan orang-orang dengan banyak kelebihan tapi hanya bisa mengeluh berkepanjangan.
Jangan bosan menjadi inspirasi buat kami yang penuh kelebihan ini.

Sabtu, 03 April 2010

Doa Untuk Sebuah Perjalanan (1995)

Gerbang pintu rumah kost-mu senantiasa ramah menyambutku
dentang belnya yang bergema
kibar tirainya putih-putih seperti tak bosannya
dimainkan oleh angin yang denganku sama nakalnya

Tak ada lagi persinggahan lagi bagiku
selain bangku hitam berbunga yang semakin tipis busanya
dengan meja kecil yang berkaca
vas bunganya dulu ada, sekarang entah dimana

Ada beberapa lagi lagi yang sempat kuingat
dering telpon di atas meja sana
suara televisi di bawah ruang tamu kita
dan kamar depan kursi kita (yang engkau tahu milik siapa)

Ocha, selamat pagi..selamat pagi kataku
Hari cerah bukan?
Angin bertiup lembut membelai wajah dan bagian atas rambutmu
seperti waktu itu, saat kita pertama kita ketemu

Jalanan yang becek dulu, sekarang tak ada bedanya
deretan ruang telepon, bank dan warung-warungnya
semakin menjauhkan aku dari kenyataan
bahwa beberapa tahun lalu aku pernah hidup di sana

Dari kebaikan para jurumasak dengan batagor dan soto babatnya
kutemukan arti hidup dan cinta
kutemukan wanita yang memberikan kasihnya
kutemukan orang-orang dengan perhatiannya

Adakah aku sudah cukup berdoa
supaya mereka mendapat balasan dari-Nya
supaya mereka dapat vmenjadi lebih baik hidupnya
atau agar kami, engkau dan aku, dapat melanggengkannya

Bisakah sebenarnya aku hitung dalam silang gemintang
daunan hijau ditingkah riak air danau di perpustakaan
warna pucat lantai di depan laboratorium kita
serta rasa es kelapa yang dijajakan di kantin sapta

Tidak.
Aku hanya menghitung dosen yang pernah mengajarku
aku hanya mengingat dimana praktek lapangku

Dalam deru seru anak-anak mekanisasi
dalam buai bentakan kakak kelas kami
sebenarnya, waktu itu, tak jelas apa yang kami cari
adalah ilmu pengetahuan, atau pelajaran menanti rejeki

Senja pengap di jalan Bara
aroma mie ayam bercampur debu galian
yang dirangsang laju angkot yang berseliweran
dan adik-adik kelas kami yang sibuk memfotokopi

Langit yang cuma sepotong menemani,
bersama sekerat biskuit dan komputer sewaan
untuk sebuah karya yang bernama skripsi
demi sebuah sebutan yang bernama gelar

Di kejauhan orangtua-orang tua kami tersenyum
di sini kami anak-anaknya tertawa-tawa
sambil mengolah data
menjadi tumpukan kerja, yang kami harap nanti berguna

Deret tonggak berlampu natrium
kawat-kawat terentang
menghubungkan suara-suara kita
serta zat asam yang kemudian berubah menjadi zat asam arang
kapankah, engkau Darmaga, bisa menjadi saksi-saksi cinta kita

Ocha, Kini setelah nyaris setengah windu perjalananmu
segala tentang cinta, harapan dan cita-cita
semoga menjadi realita
seperti kibaran tirai, pintu dan kursi yang stia menemani kita

Setelah tahun-tahun berbadai
meneteskan aneka tawa dan duka
suatu saat akan kita torehkan
pesan-pesan alfabetis nama anak-anak kita
pada gelombang yang menyisir pantai
pada langit, angin, sawah dan kota
dengan kerja berat, dengan hati yang kuat
Selamat pagi dunia
Selamat malamku,
Selamatkan siangku,
Tuhanku

---------------------------------------------------
Ditulis sepanjang perjalanan saat perjuangan mengawali masa depan: di Ponytail, di kamp perjuangan MEGATIN dan di Sindangbarang Loji. Darmaga-Bogor, 7 April 1995 (Kami tak pernah tahu, bahwa 3 tahun-lebih 3 hari dari dituliskannya puisi ini : kami menikah)

Sabtu, 13 Februari 2010

Pak ASEP : Di Kedai Kopi Tubruk , dekat stasiun kereta


Saya belum pernah ketemu dengan dia sebelumnya. Biasanya, setiap kali saya nongkrong menunggu kereta di stasiun Dukuh Atas (sekarang namanya stasiun Sudirman), hanya istri dan Hendra –anak laki-lakinya- yang setia menjerang air dan menyeduh kopi tubruk pesanan saya.

Dari kerut-merut kulit di wajahnya, saya taksir usianya tak kurang hampir sepuluh windu panjangnya. Saat itulah dia mulai panjang bercerita-seolah kami berteman lama- bahwa dia – pak Asep yang renta ini – sudah tiga dasawarsa mencoba menaklukan ibukota.

Masa kecil, dilaluinya di lereng sebuah gunung di Tasikmalaya, perlu waktu 3 jam untuk turun ke pasar Singaparna. Dua kali seminggu, lepas pukul dua malam, dia berjalan kaki bersama ayah tercinta menuju pasar untuk berbelanja. Dikisahkannya, sepanjang jalan ayahnya banyak bercerita, berdialog dan menembang beberapa lagu sunda untuk mengisi suasana. Banyak kisah diceritakan, disela peluh yang membasah karena perjalanan yang panjang ke bawah.

Ketika itu-katanya-jaman hidup dengan damainya. Setiap maghrib surau penuh dengan manusia, sholat berjamaah, lalu mengaji bersama. Tak tua, tak muda. Jaman itu, tak ada yang punya mobil atau kereta. Harta paling mewah hanya sapi atau kerbau kandang, dan deretan sawah di ujung-ujung desa.
Panen hanya dua kali dalam setahun; dan setiap kali panen ada cukup simpanan beras untuk panen berikutnya. Tak perlu pupuk, tak perlu pestisida. Orang-orang sehat mencapai umur tertuanya, hingga ada yang berumur seratus tahun, katanya. Anak-anak berangkat pagi ke sekolah dengan riang, bertelanjang kaki melewati ratusan petak sawah gembira. Hidup tak ada yang menderita.

Kini jaman sudah berubah. Dengan keringat yang diperas, panen padi setahun bisa tiga kali. Tapi heran, tak cukup beras untuk disimpan hingga menjelang panen berikutnya. Pupuk, pestisida makin mahal, dan kebutuhannya melonjak luar biasa. Mengadu nasib di ibukota, tak lagi jauh beda. Dulu, dua dasawarsa lalu, bekerja satu hari bisa untuk makan tiga hari. Tapi kini kebalikannya, memeras peluh tiga hari, hanya cukup untuk hidup satu hari saja.

Di kampung, orang sudah bermobil dan bersepeda yang ada motornya. Rumah sudah bertembok, tak ada lagi atap rumbia. Tapi, maghrib surau dan masjid sepi, karena anak-anak sedang “sibuk mengaji” di depan tivi, menatapi film dan sinetron masa kini.
Anak-anak cepat tumbuh dewasa, tapi orang dewasa lebih cepat mati. Tak ada lagi, kakek atau nenek yang berusia hingga satu abad. Di ruangan tengah rumah bertembok tak ada lagi gurau, canda dan interaksi sanak sebagaimana dulu. Semua orang pergi ke kota, sibuk bekerja. Untunglah masih ada hari Lebaran.
Tekanan jaman, membuat desa pak Asep –katakan begitu namanya- juga dilanda penyakit kota bernama stress dan depresi. Anak-anak kehilangan hormat pada orangtua, anak-anak tertekan oleh lingkungannya. Kabar miris –kisah pak Asep selanjutnya – seorang anak mati bunuh diri karena takut tak lulus ujian negara.

Maka, dari bawah kolong jembatan dekat stasiun Dukuh Atas ini pak Asep –sebut saja begitu namanya – ingin kembali bernostalgia. Memiliki pemimpin yang peduli pada rakyatnya, pemimpin yang bisa menurunkan harga minyak dan beras untuknya, pemimpin yang tak hanya baik saat kampanye dan menjelang pemilu saja.

Dalam perjalanan di dalam kereta ber-AC setelah berpisah dengan pak Asep yang renta, berfikirlah saya yang masih beruntung bisa membeli mie instan buat anak-anak saya, membelikan seragam sekolah dan mainan untuk mereka. Hidup buat pak Asep, dan Pak Asep-Pak Asep lainnya memang sulit kita duga kedalamnya. Kita Cuma bisa bersyukur sambil menduga-duga. (Ditulis di Bogor, 29 April 2009)

Jumat, 12 Februari 2010

Puisi di Malam yang Tua


Dari pelataran taman kencana, yang dulu banyak bancinya
Di temaram jalan raya pajajaran yang sudah sesak dengan toko sedemikian rupa
Dalam pojok warung jambu, dengan gadis-gadis kecil menunggu pelanggan
Sudah kita lewati bersama

Memerdekakan diri dari pelajaran kimia fisika
Melewati mata ujian biokimia dan sebagainya
Mengetahui dunia dari perpustakaan yang suram kehabisan koleksinya
Telah kita lalui bersama

Kini dunia nyata, inilah dunia para pejuang sesungguhnya
melewatkan umur dengan mengejar kereta
menghabiskan waktu di belakang layar komputer yang berpendar
Sudah ada di belakang kita

Kini, dalam seisik angin di teras belakang rumah kita
bersama derik jengkerik dan bunyi katak menjelang hujan
di malam yang makin tua
Kita tak akan tahu, seperti apa nanti hidup kita
Karena kita cuma bisa berusaha


Cimahpar-Bogor, 060210...tepat 00.30
Untuk orang-orang tercinta

Dia Bernama Barbara Padilla


Saya melihat penampilannya tadi malam di Indosiar. Siaran entah kapan, ajang penyisihan America's Got Talent. Saat itu dia belum menjadi siapa-siapa.

Namanya Barbara Padilla.

Penampilannya biasa, siapa yang mengira -belakangan- suaranya sopran-nya bakalan mengguncang dunia. Dia hanya ibu rumah tangga biasa, bahkan dalam caption perkenanlan dengan para dewan juri : hanya disebut seorang ibu rumah tangga yang bekerja di rumah.

Tapi, begitu musik dialunkan, suaranya sungguh luar biasa : kelas soprano kelas dunia.

Kontan, begitu selesai penampilannya : seluruh penonton, bahkan dewan juri memberikan "standing ovation" buat dia. Barbara Padilla.

Dia hanya ibu rumah tangga biasa. Dua mujizat yang baru saja diterimanya, tampil di ajang penyisihan dan lolos ke Las Vegas...serta baru saja sembuh dari penyakit kankernya. Dia lahir 1973 di Guadalajara Mexico. Bertahun menderita semacam kanker darah bernama Hodgkin's Lymphoma. Menjalani serangkaian terapi radiasi dan kemoterapi, membuatnya menerima vonis akan kehilangan pita suaranya.

Tapi dia tidak menyerah, ditemani mimpi-mimpi besarnya.

Hingga suatu ketika, saat dia berobat ke Houston dia mengikuti sebuah audisi di Moore's School of Music di Houston University , dia mendapat berkah : beasiwa penuh hingga tercapainya Gelar Master-nya. Itu semua saat dia berjuang melawan kanker yang dideritanya.

Dukungan suami dan putri empat tahunnya, sungguh menguatkannya.

Barbara Padilla telah memenagkan mimpinya, lagu milik Giacomo Puccini berjudul O Mio Babbino Caro" membawanya memenangkan mimpinya melaju ke Vegas, dan belakangan ikut mengantarkannya menjadi runner up kompetisi ini tahun 2009, setelah kalah suara dari Kevin Skinner, pelantun lagu country dari Kentucky.

Hal paling mengisnpirasi dari Barbara Padilla, adalah jawaban atas pertanyaan Sharon Ousborne, sang Dewan Juri saat ditanyakan bagaimana perasaannya setelah performanya diberi apresiasi luar biasa oleh para penonton di sana...

Dia hanya mengatakan,"Luar Biasa, saya hanya punya HARAPAN, dan HARAPAN itu yang menguatkan saya untuk terus bergerak dengan segala hambatan dan kendala saya".

Barbara Padilla, dengan suara sopran nya, terus mengejar harapannya mengalahkan segala rasa sakit dengan kekuatan mimpinya dan berharap bisa menjadi inspirasi bagi orang yang nanti akan mengenalnya.

Kekuatan mimpi dan harapan telah mengalahkan segala kendala. Satu lagi bukti nyata. Semoga menginspirasi.

Kamis, 28 Januari 2010

Kali ini, cerita tentang Tukang Tahu


Namanya Tohir, asli Cirebon. Lajang tidak lulus SMP, usianya -menurut pengakuannya- belum genap 25 tahun. Sudah 10 tahun merantau, dengan segala macam pekerjaan telah digelutinya. Kini, sudah hampir genap tiga tahun ditekuni profesi terakhirnya sebagai Tukang Tahu : menjual segala macam tahu berkeliling dengan motor Supra Fit-nya.

Dia muncul tiap pagi di depan rumah saya, pagi ini dia nongol ketika saya sedang mencuci mobil.

Dengan percaya diri, pagi tadi, dia menggoda setiap pembantu rumah tangga yang lewat di depan rumah saya. Lalu dia riang bercerita.

Menjadi tukang tahu selama 3 tahun terakhir adalah ladang rejeki yang baik baginya. Kehidupan sebagai kuli angkut di Pasar Induk, tukang bangunan hingga pedagang kakli lima -yang sempat berkali digaruk Tramtib- sudah dilewatinya. Tohir, ingin berumahtangga. Saya kira itu jawaban kenapa dengan pede dia menggoda setiap pembantu rumah tangga yang lewat depan rumah saya.

Tidak ada nada keraguan ketika dia bercerita soal rencana-rancananya. Hasil berdagang sudah berujud motor sebentar lagi lunas cicilannya, bisa ikut "urunan" batu bata untuk membangun rumah orang tuanya nun di Cirebon sana, sepetak sawah yang tak terlalu luas (katanya) dan dia ingin segera berumahtangga. Tidak ada keraguan soal akan bagaimana nanti kelangsungan usahanya, sebagai tukang tahu keliling, dengan omzet paling besar 400 ribu sehari.

Tohir hanya yakin semua bisa dilaluinya. Perjalanan panjang 10 tahun di perantauan, dari ujung kehidupan paling busuk sudah membentuknya.

Kata Tohir: jaman dulu saya sudah pernah tidur beralas koran, beratap langit. Bekerja sebagai kuli angkut dengan bayaran 40 ribu SEHARI. Bergaul dengan segala strata paling busuk di tataran kehidupan manusia. Jadi -lanjut Tohir lagi- buat saya tak ada lagi ketakutan untuk menghadapi kondisi paling buruk dalam hidup. Dasar kehidupan yang buruk telah dialaminya.

Kini, dengan motor yang sudah dimilikinya, dagangan tahu yang menyumbang keuntungan ke pundinya ditambah KEYAKINAN bahwa esok pasti lebih baik : Tohir menjalani hidup dan menghadapi masa depannya.

Kita belum pernah seburuk Tohir. Barangkali dasar terburuk kehidupan kita barulah terlilit hutang, naik turun angkot untuk mengejar gaji yang" kecil" atau masih tinggal di rumah kontrakan yang sempit.

Tapi lihatlah Tohir, hidupnya FOKUS. Fokus mengejar masa depan - yang menurut keyakinannya - pasti lebih baik, walau hanya sebagai tukang tahu. Maka, saya kira, fokus pada keyakinan adalah kuncinya.

Fokus bahwa hutang yang melilit akan selesai (dengan terus mengais segala peluang dan sumber nafkah yang halal), fokus pada keyakinan nasib anak-anak kita lebih baik di masa nanti (dengan menyekolahkannya di sekolah terbaik) : Insya Allah akan tercapai. Tentu, karena kita beragama, kekuatan doa juga ikut menentukan.

Maka, belajar dari Tohir Tukang Tahu yang sedang pede dan genit menggoda para pembantu rumah tangga di depan rumah saya : FOKUS dan terus "BER-AKSI" lah; karena masa-masa terburuk sudah hampir kita lalui, masa depan yang gilang gemilang sedang menunggu.

Kalau Tohir -seorang Tukang Tahu Keliling - saja bisa, apalagi kita.

Semoga menginspirasi.

Basri Adhi
http://bazz-misterblek.blogspot.com
http://lafuneste-stroy.blogspot.com

Kamis, 21 Januari 2010

Empat tahun lalu, tepat empat tahun lalu


Empat tahun lalu, tepat empat tahun lalu. Di depan rumah, terparkir Honda all new civic tahun terkini, warna silver, transmisi otomatis, BBM-nya harus Pertamax. Di STNK tertera pemiliknya adalah perusahaan tempat saya bekerja. Mobil itu biasa nongkrong di depan rumah, paling cepat lepas pukul sebelas malam hingga paling lambat pukul enam tiap paginya. Kadang dalam sebulan, mobil itu ada di Jalur Jakarta - Solo sampai Surabaya selama seminggu lamanya. Tak peduli hujan panas cuacanya.

Di mobil yang kilap itu, duduk saya kadang ditemani teman saya Firman dan Turino (kini mereka bekerja di Koran Jakarta). Dulu kami sering bergumam, kapan kita bisa hidup merdeka, menikmati hasil karya kita sendiri sambil mengantar anak-anak ke sekolah. Di dalam mobil yang kilap itu, kami berkejaran dengan target...target...dan target yang tak henti naik, bahkan sebelum kami sempat mencapai target sebelumnya. Tapi, tetap saja dengan AC-nya yang berhembus dingin, aroma kulit joknya yang khas dan wangi; sungguh melenakan.

Hingga, suatu titik, saya dipertemukan dengan seorang pengusaha nekad, pemilik waralaba burger kelas pinggir jalan. Entah kenapa, saya yang sarjana universitas hebat di negeri ini, yang menjadi General Manajer di sebuah perusahaan media paling unggul : bisa terpikat. Seorang sarjana berjualan burger...kelas pinggir jalan. Saya ingat, modalnya hanya 3 juta saat itu.

Tapi barangkali itulah hidup.

Langkah kecil sudah diayunkan. Burger kelas pinggir jalan, sudah berkembang, karena yang saya pikirkan hanya maju dan berjuang. Peni (kawan saya yang kini bekerja di TVOne), masih ingat, bagaimana tertatih-tatihnya konter yang engkau titipkan pada saya untuk dikelola. Kini konter itu sudah tidak ada.

Hingga hari itu tiba.

Tak kuasa membendung politik kantor yang busuk, dan dorongan untuk merdeka : maka Honda all new civic yang berwarna silver mengkilap, yang BBM-nya harus Pertamax saya kembalikan kepada yang punya. Beserta gaji delapan digit dan segala fasilitas gemerlapnya. Menuju sebuah masa depan -yang sebagian teman bilang akan gelap.

Tapi - barangkali- itulah hidup. Mengutip kata Rendra : sekali dalam hidup, manusia harus menentukan sikap.

Tidak ada lagi mobil yang mengkilap, tidak ada lagi jabatan yang hebat. Setiap pagi, adalah hari mengantar daging dan roti, ditemani si biru Smash "Davidson" (...ah, dia hingga kini masih ada). Hujan dan panas. menghitung omzet receh demi receh, tertatih menggaji karyawan di tiap ujung bulan.

Tapi, hari ini, di teras belakang rumah baru kami, dalam teritik bunyi air hujan ditemani secangkir MISTERBLEK Ginger yang baunya menggoda hati, semua itu terasa indah. Bukan lagi cuma sekedar materi; tapi kabar bahagia dan distributor dan mitra yang kini bisa membuka usaha sendiri, menghidupi karyawannya dan meng-anak pinak-kan bisnisnya. Apalagi yang lebih manis dari itu.

Terima kasih pada kawan, sabahat...distributor dan mitra. Ini adalah pengalaman hidup yang luar biasa. Yang dimulai empat tahun lalu, tepat empat tahun lalu. Kalau saya bisa, apalagi anda -- yang tentu jauh lebih hebat dari saya -- pasti bisa.

Saya ingat nasihat mas Jainal (yang saat ini bekerja di Majalah Trust) : Gusti Allah tidak tidur.

Salam sukses Luar biasa.

Semoga Besok bukan Senin yang Biasa


Saya tulis notes ini pada hari minggu, ketika senja sudah mulai lelah : lengkap dengan bau embun yang sudah mulai jatuh membasahi tanaman alang-alang di teras belakang rumah, sudut favorit penuh inspirasi di rumah saya.

Besok hari Senin.

Penghujung tahun 2004, menjelang kedatangan 2005, saya mendapat tawaran dari seorang kenalan-yang sekaligus mantan atasan- untuk turut membangun sebuah koran baru. Di belakang koran ini adalah salah sebuah grup besar penentu kiri kanan bisnis negeri ini. Saya bersedia, karena saya tertantang.

Sederet angka diajukan sebagai kompensasi, dan saya menerima. Toh, tak ada lagi selain menerima deretan angka itu, karena tantangannya merangsang segenap syaaf neuron saya : bayangkan, membangun sebuah koran baru -milik perusahaan besar- dari nol. Hingga semua pekerjaan tiba, tak henti bagai air bah, lengkap beserta target-targetnya. Tak terlintas keinginan mendapatkan fasilitas lain, misal seperti mobil dan lainnya.

Hingga masuklah para pejuang palsu pemburu gaji besar belaka. Belum bekerja, sudah banyak yang diminta. Berkah buat saya, yang tak tadinya tak mendapat mobil; karena sang pejuang palsu mendapatkan fasilitas itu, maka aya ikut kecipratan enaknya.

Tapi politik kantor tetap politik kantor. Para pejuang palsu berjaya. Belakangan saya dengar gaji mereka jauh lebih besar dari apa yang saya terima. Demikian juga para pejuang palsu pada generasi yang selanjutnya.

Tapi, belakangan : pak Mario Teguh -- sore tadi -- mengisnpirasi saya. Apa yang saya telah capai hari ini sungguh hal yang luar biasa. Pada malam yang lelah ini, saya berandai-andai : bila saja dulu saya bertahan dalam jeratan politik kantor yang penuh kosnpirasi, maka apa yang saya terima barangkali hanya sebatas gaji sebagai mahlkuk kerdil yang tak punya keberanian apa-apa.

Kini, selain rasa syukur yang terucap tiap bagi-saat bangun pagi bersama hari yang segar- juga sirnanya segala penyesalan akan pahitnya masa itu. Tak cuma materi yang membuat kami bisa makan nasi tiap hari, tapi keputusan besar pada waktu itu membawa saya bertemu banyak teman-teman yang luar biasa : yang bahkan mereka belum pernah saya kenal sebelumnya.

Maka, bila besok Senin anda ingin menjadi Senin yang tidak biasa; maka lakukan hal yang berbeda. Hal yang berbeda akan membawa hasil yang berbeda. Saya yakin, "gaji" anda semua -teman-teman saya yang luar biasa -- pasti lebih dari sekedar 4 - 5 juta yang akan habis pada saat bulan masih muda.

Lakukan hal berbeda, lakukan langkah kecil untuk sebuah lompatan besar. Anda yang kini dibayar karena menawarkan sesuatu pada klien anda, maka besok senin kerjakan itu dua kali lebih banyak dari biasanya. Anda yang digaji tetap sebagi pegawai, kerjakan hal berbeda selepas anda kerja, bahkan hanya dengan hal sepele seperti berjualan pulsa misalnya.

Uang bukan segalanya : tapi seperti kata pak Mario Teguh : kebahagiaan akan tiba setelah kesejahteraan. Kesejahteraan akan menghampiri, bila kita punya cukup uang untuk menutupi semua kebutuhan dan biaya.

Maka, supaya tak berpanjang kata-karena hari makin lelah dan larut, ayo..kita songsong Senin besok, bukan seperti Senin yang biasa. Kita lakukan banyak hal berbeda, bertemu dengan orang-orang baru yang berbeda. Untuk mendapatkan hasil-hasil baru yang berbeda.

Semoga Gusti Allah menyertai langkah kita

Bukan cuma materi ...


Pagi-pagi ingin berbagi. Beberapa hari lalu saya berkesempatan melakukan wawnacara untuk salah satu calon sopir untuk kantor kami. Sebut saja namanya pak Kukuh. Beliau datang wawancara atas rekomendasi seorang teman saya, yang iba melihat kondisinya.

Dari wawancara dia terungkap, bahwa kondisi finansialnya sedang dalam kondisi kronis, sangat kronis malah. Semua asset yang beliau miliki sudah tergadai, dalam arti harfiah, untuk melanjutkan hidup. Tidak ada aktivitas produktif yang dia lakukan selain hanya bekerja serabutan kiri kanan. Potret ironi dibanding hotel prodeo bintang lima yang sedang ramai dibicarakan.

Setelah wawancara, saya melihat ada "persoalan mendesak" yang harus diselesaikan beliau, dan saya bisa bantu dengan memberikan sebuah pekerjaan yang saat ini sedang diperebutkan paling tidak oleh 8 pelamar lainnya. Tim kami langsung menerangkan standar gaji yang ada(gaji pokok, uang harian, insentif dalam kota dan insentif luar kota : yang ini juga berlaku untuk 6 karyawan kami di kantor pusat), beliau menyatakan bersedia.

Tapi tunggu punya tunggu, pada saatnya dia sudah seharusnya sudah masuk bekerja, dia tak menampakkan diri. Tak ada kabar.

Lalu, bertelelponlah saya dengan teman yang merekomendasikan beliau. Usut punya usut, pak Kukuh memutuskan tak mau mengambil pekerjaan ini, karena dalam "perhitungannya" gaji yang akan dia akan terima tidak akan cukup memenuhi "kebutuhannya", bahkan jauh sebelum dia memulai bekerja.

Kadang, kita memakai logika dan perhitungan manusia dalam menghitung rejeki yang diberikan Tuhan.

Dalam berhubungan bisnis dengan mitra, banyak dari kita yang langsung memtuskan TIDAK ketika kita hitung bisnisnya hanya memberikan keuntungan kecil (bahkan, sebenarnya tidak rugi : hanya keuntungannya kecil). Kita sering menolak dan melewatkan peluang, hanya karena dalam perhitungan kita -sebagai manusia- bisnis itu menyumbangkan "recehan" dalam pundi materi kita.

Dalam banyak pelajaran yang diberikan oleh "guru-guru" saya yang telah malang melintang di bisnisnya, mereka memiliki prinsip yang agak berbeda. Bisnis bukan semata materi. Tapi Bisnis juga ada seni, seni bersilaturahmi, seni berhitung dan seni berserah diri. Kata mereka, jangan menolah sebuah peluang sekecil apapun -asal sudah pasti tidak merugikan- karena peluang tetap saja peluang.

Ketika bisnisnya kecil, baiklah kiranya kita banyak berdoa, agar mitra bisnis kita diberikan kesehatan, agar bisa membesarkan bisnisnya dan kita ikut kecipratan efeknya. Disini logika dan matematika manusia tidak laku.

Dalam kasus pak Kukuh, dengan segala hormat, beliau telah kehilangan salah satu peluang rejekinya : karena berprasangka dengan logika manusia. Dan menurut para guru saya, berbaik sangkalah, bersilaturahmilah, peliharalah hubungan baik dan berdoalah. Tentu dengan usaha dan ikhtiar semaksimal mungkin yang kita bisa.

Toh, di dunia kita hidup juga cuma sementara; ada "profit" dari bermuamalah di dunia, tapi yang paling penting kan "pahala" yang kita tak bisa tebak besarnya di akhirat nanti.

Maka, Bismillah : action !

Senin, 18 Januari 2010

Belajar dari David Silver di San Quentin State Prison


Namanya David Silver. Dia bukan kyai atau sejenisnya. David, adalah penjahat paling top diantara penghuni barak ber-keamanan maksimum di San Quentin State Prison, sebuah penjara paling tua dan terkenal "angker" di Amerika sana.

Cerita ini saya dapat dari reportase khusus Louis Theroux dari BBC knowledge yang ditayangkan di saluran TV berbayar dalam kamar saya tadi baru saja.

David Silver -tak tanggung-tanggung- menjalani masa hukuman 11 kali seumur hidup (atau setara 500 tahun), artinya tak ada kans untuknya bisa bebas. Reputasinya luar biasa : merampok dan membunuh korbannya dengan kekejian di luar batas akal normal manusia, membuatnya sangat disegani di kalangan narapidana geng negro maupun geng kulit putih di sana. Dalam tayangan itu bercerita, bahkan ketika makan siangpun si David mendapat perlakuan sangat istimewa : barangkali-dalam bayangan saya - seperti Dr Hannibal Lecter dalam Trilogy-nya Thomas Harris.

Tapi, BBC mengungkapkan sisi manusia David, yang membuat kita harus banyak merenung dan belajar darinya.

Davis sadar akan reputasinya. Dia adalah sosok paling disegani di seantero penjara San Quentin. Orang lain di sana bahkan akan langsung mengkerut nyalinya cukup dengan mendengarkan namanya. Namun, ironi bagi David.

Dia berkata, tak akan mengambil kesempatan keluar dari penjara (bilapun bisa) : hidup normal sebagai manusia bebas di dunia segar dan nyata. Kegamangan besar David juga melanda melanda sebagian besar narapidana di sana.

Karena ketika dia bebas, berada di dunia luas sana : David bukan siapa-siapa. Di penjara bolehlah dia menjadi "tokoh" yang hebat luar biasa, namun tetap saja di dunia nyata di luar penjara orang tidak akan peduli akan eksistensinya.

Maka David Silver mengajari kita untuk melihat ke dalam diri kita sendiri. Di lingkungan kita, barangkali, kita adalah bos besar dengan kuasa luar biasa. Seorang pimpinan dengan wewenang luas dan kekuatan besar mengendalikan dunia.

Tapi, sebenarnya siapa kita di luar lingkungan kita? Adakah kita menjadi seseorang (yang memberi manfaat) atau bukan siapa-siapa?

Dalam setiap kesempatan saya berusaha mengingatkan diri sendiri juga para mitra serta distributor-distributor saya. Ambil kesempatan untuk berada di luar di lingkungan kita sekarang. Lewati batas tembok yang menghalang, bertemu dengan orang-orang yang belum pernah kita kenal sebelumnya.

Tulislah pengalaman-pengalaman berharga, yang sedih dan bahagia : untuk bisa memberikan inspirasi pada sesama. Buatlah buku, website atau blog yang -barangkali- sederhana saja. Tapi isilah media itu dengan pengalaman kita yang paling berharga. Berbagilah, walau hanya cerita.

Maka, saran saya : mumpung nge-blog belum dikenai biaya, kita mulai "menjadi seseorang" bagi manusia-manusia lain yang belum pernah kita kenal sebelumnya. Berikan manfaat dengan jatuh bangunnya kita membangun sebuah usaha yang bersahaja, dengan satu kata : inspirasi.
Tulislah, walau sebaris cerita.

Dari sana, semoga kita tak menjadi David Silver di San Quentin yang perkasa, tapi gamang bebas karena takut tak menjadi siapa-siapa di dunia nyata. Toh, tak ada ruginya berbagi cerita.

Maka Bismillah...action !

Minggu, 03 Januari 2010

Bukan cuma Materi, tapi ...


Dia hanya berjualan kerupuk. Apa artinya kerupuk, yang sebungkus isi 5 gelundung harganya hanya 1000 rupiah, dibandingkan bisnis miliaran para pegawai wangi berdasi dan pengusaha besar di republik ini. Tapi, karena hanya berjualan kerupuk, beliau sangat mengisnpirasi saya.

Namanya -sebut saja- Pak Amin. Saya tak berjumpa langsung dengannya, hanya ngobrol dengan Maman, seorang anak buahnya : pengecer kerupuk dengan sepeda, yang kebetulan numpang rehat di gardu siskamling depan rumah saya. Dari Maman-lah saya mendapat banyak cerita, tentang pak Amin dan perjuangannya.

Keluar dari sebuah pabrik kerupuk di Tangerang akhir tahun 2007, pak Amin memutuskan untuk memulai perjuangannya sendiri. Dengan modal dan peralatan seadanya, dia memulai usaha : membuat pabrik kerupuk di pojokan daerah POMAD - Ciluar Bogor. Di bedeng sewaan ukuran 6 x 6 yang disewanya untuk pabrik, tempat tinggal dan "asrama" bagi 4 orang tetangga kampungnya (2 orang membantu produksi, dan 2 orang berkeliling menjajakan kerupuk) : awal 2007 tonggak awal sebuah usaha ditancapkan.

Maman bercerita: ketekunan, kemauan kuat dan tidak mudah menyerah adalah rahasia sukses pak Amir. Pak Amir adalah naungan bagi para anak buahnya, yang notabene adalah teman-teman sekampung yang kurang beruntung nasibnya. Pak Amir tetap pembuat kerupuk, duduk seharian sambil mencetak kerupuk, walau dia seorang pengusaha. Tapi, kadang pak Amir juga berpeluh menggenjot sepeda bila anak buahnya sedang sakit tak bisa menjajakan barang dagangannya.

Tapi, lanjut Maman, kini cerita sudah berbeda. Dengan 11 orang anak buahnya, keuntungan bersih 12 juta setiap bulannya : Pak Amir mulai berdaya. Dibelinya tanah yang dulu disewanya, diperbesarlah kapasitas usaha; dan kini beliau sedang mengajari 5 penjaja kerupuk baru untuk memperluas areal jualannya.

Kerupuk bisa mengubah dunia.

Maka, di tanggal yang masih muda dalam tahun baru ini; agaknya sudah seharusnya kita mulai berfikir. Mencermati dan berefleksi : adakah perubahan besar yang sudah kita buat sepanjang tahun lalu? Tak cuma karena materi kita yang bertambah banyak, dompet kita yang bertambah tebal...namun, berapa orang yang menjadi berdaya karena buah perjuangan kita?

Pak Amir, lewat mulut Maman penjual kerupuk keliling di depan rumah saya, menusuk dalam dengan inspirasinya.