Kamis, 14 April 2011

The Pursuit of Happyness


Bukan bermaksud sok Inggris, tapi hanya mengutip. Judul diatas adalah judul sebuah film, yang berulang saya tonton ketika malam sudah mulai dingin, embun mulai jatuh dan jengkerik mulai berdendang.

Sebuah film biasa, tapi dengan cerita luar biasa, karena diilhami kisah nyata seorang Chris Gardner, seorang sales biasa namun berbakat, dengan anak semata wayangnya Christopher yang berjuang berdua : menemukan kebahagiaan.Kisah ini sebenarnya jamak terjadi di lingkungan kita. Barangkali saya atau anda adalah Chris Gardner.

Seorang salesman miskin, dengan anak semata wayang tak berdosa di dunia kesendirian tanpa dukungan : berjuang mengejar mimpi. Maka kembali pada Chris Gardner. Dia seorang salesman miskin, dengan balita yang belum lagi tahu apa-apa. Keyakinan pada mimpi besar yang dimiliki, membawa dia berjuang menjual alat yang sia-sia saja dijualnya. Bisnis kadang kelihatan manis di kulitnya. Hingga ketidakberdayaan ekonomi membuatnya terbuang dari apartemen-bersama anaknya- terlempar dan terusir dari satu penginapan ke penginapan lain, tertidur di WC stasiun kereta dan mengejar bis kota hanya agar tak ketinggalan antre di rumah singgah. Christopher-sering tak mengerti dan menangis : mengapa ayahnya mengajaknya hidup susah dan berpindah-pindah.Tapi, nasib baik hanya berpihak pada yang mau bermimpi besar dan berjuang-mengambil langkah nyata- untuk mengejarnya.

Terinspirasi seorang broker saham bermobil mewah, dia mencoba peruntungannya di sebuah perusahaan sekuritas. Bekerja tak digaji dan hanya mendapatkan ilmu baru saja. Dan Tuhan selalu Maha Adil. Kini Chris Gardner adalah multi miliuner dan filantropis di Amerika sana.alu, mengapa film ini sebegitu mempesona? apa hebatnya film yang dibuat di Amerika, di negeri yang terkenal dengan pengagungannya pada materi?Coba lihat diri kita. Anak kita menangis ketika kita akan berangkat bekerja, setiap subuh.

Mereka ingin sekedar bercanda dan ngobrol dengan kita, karena semalam -seperti malam-malam yang lain- kita datang saat mereka sudah tidur. Suami atau istri kita bersedih karena pekerjaan mengharuskan kita pulang terlambat atau tak pulang sama sekali : demi penghasilan yang sama, seperti yang diterima bulan lalu atau bahkan tahun lalu. Dan kita merasa harus bangga bertepuk dada di depan semua anggota keluarga kita karena penghasilan, yang selalu kurang itu: bukan karena jumlahnya, tapi bila dibandingkan dengan waktu untuk keluarga yang telah terbuang sia-sia.Maka lihatlah Chris Gardner.Dia mengambil sebuah titik mula dari lembah yang paling dalam. Tanpa bantalan "keamanan finansial" hanya bertopang pada mimpi besar. Maka apabila itu disebut penderitaan, itulah dasar dari semua derita. Bayangkan bagaimana dia begitu gigih meyakinkan Christopher -seorang balita yang belum genap bernalar- untuk ikut "melindungi mimpinya".

"Don't ever let somebody tell you : you can't do something...You got a dream, you gotta protect it. If you want something, go get it. Period".

Maka bandingkan dengan diri kita. Kita makhluk yang ber-Tuhan. Mustinya tak cuma bertopang pada mimpi kita berani melakukan "sesuatu yang berbeda". Mustinya kita juga bertopang pada Tuhan yang Maha Pemurah dan Maha Adil. Mustinya tak ada lagi kebimbangan, karena keyakinan penuh kita juga akan meyakinkan seluruh anggota keluarga kita. Sebagaimana Christopher meyakini mimpi ayahnya.Maka tak ada lagi rasa jenuh atau tersia-sia.

Sehingga belajar dari Chris Gardner : timbang lagi mimpi anda, lakukan sesuatu yang berbeda...pasti hasil yang akan kita capai juga berbeda. Ingin memiliki gaji lebih besar, carilah karir di tempat yang bisa memberikan gaji lebih baik (artinya bekerja dengan sedikit waktu, dengan gaji yang lebih banyak); atau ingin memiliki bisnis sendiri?

Mulailah jangan banyak berfikir, mempertimbangkan dan menunda.imbanglah banyak waktu untuk keluarga, karena kesanalah kita akan pulang. Uang bukan segala-gala.Tuhan selalu bersama kita. Setidaknya itu yang diajarkan Chris Gardner pada kita. Semoga menginspirasi.

Untuk istri dan anak-anakku