Kamis, 21 Oktober 2010

Kang Entang, Pelantun Nasyid yang Tuna Netra


Ini kali kedua saya melihatnya berdiri dengan "pede" di depan jamaah pengajian minggu di Andalusia Islamic Centre-Sentul City. Bukan untuk khotbah atau berceramah.

Dia bukan tokoh dalam fiksi atau rekayasa, dia ada di dunia nyata.

Perawakannya kurus bersahaja, kulit agak gelap menyembunyikan segala kemungkinan bahwa dia berasal dari ibukota Priangan yang dingin. Dituntun seorang jamaah, dia menuju ke depan mimbar untuk melantunkan nasyid-nasyid yang menyejukkan hati. Senyumnya ditebar ke kanan dan ke kiri, dengan penuh percaya diri : karena dia tak melihat puluhan mata yang menatapnya. Ya, dia - kang Entang, namanya - adalah seorang tuna netra.

Saya kira tadinya dia tuna netra yang biasa-biasa saja, tapi saat Ustadz Syafii Antonio mengenalkannya pada kami semua, barulah saya ternganga.

Kang Entang, dengan sedikit bercanda berkata, bahwa kebutaan adalah kelebihannya dibanding orang kebanyakan umumnya. Bayangkan, katanya, saat listrik sedang padam; maka orang lain akan tergagap sibuk mencari lampu untuk meneranginya saat membaca. Tapi tidak bagi kang Entang, lampu mati atau menyala, sama saja gelapnya : jadi dia tak perlu tergagap mencari penerangan seperti lilin atau sejenisnya.

Dengan "kelebihannya" kang Entang bisa menyelesaikan menghafal Al Quran dan terus mengaji. Quran yang dibacanya pun cukup istimewa, karena berhuruf Braille. Jangan bayangkan Quran ini sebagaimana Quran yang umum kita lihat dan kita baca, Quran berhuruf braille jauh lebih mahal karena lebih tebal, serta berat dan tak mudah dibacanya.

Alasan Kang Entang menghafal isi Quran cukup sederhana, karena tonjolan titik-titik dalam huruf braille punya masa kedaluarsa, makin sering di-"jamah" maka makin menipis tonjolannya : maka agar dia tak sering-sering meraba Quran-nya, dia memilih menghapalnya. Dan dengan hapalnya dia, maka Qurannya bisa dipakai tunanetra lain yang lebih membutuhkan. Sebuah pemikiran yang mulia.

Tak berhenti sampai di sana. Kang Entang menghimpun teman-teman yang senasib dengannya, membentuk sebuah Yayasan. Yayasan ini bergerak di berbagai lini, dan salah satu lini unggulannya adalah : memproduksi rekaman Nasyid yang dinyanyikan kang Entang beserta beberapa rekannya.
Niatnya sungguh mulia, bersama teman-teman se Yayasannya : dia menjalankan syiar, berkarya dan membeli Al Quran braille (yang mahal sekali haragnya) untuk didistribusikan pada tunanetra lain yang membutuhkan ; di berbagai belahan Indonesia.

Kang Entang baru beberapa hari pulang dari Mekkah menunaikan ibadah umrah. Bukan kemenangan besar melihat Baitullah yang telah dimenangkannya, tapi kemenangan besar membawa serta ibunya ke Mekkah, mengunjungi semua lokasi penting dan bersejarah serta kemenangannya "memegang Kabah".

Di akhir cerita, Kang Entang berkata (dan ini sangat menusuk saya) : Bahwa jangan jadikan "kekurangan" penghalang pencapaian mimpi kita, jadikan sahabat dan "alat kemenangan kita". Jangan jadikan dia sumber keluh kesah yang makin menjatuhkan kita dari lembah keterpurukannya.

Maka, belajar dari kang Entang, buat anda yang sedang dirundung banyak hutang, karir yang macet atau usaha yang sedang dalam kondisi kesulitan : jadikan momentum ini untuk "alat ungkit" menuju kemenangan; barangkali selama ini kita "kurang beguna" bagi orang-orang di sekeliling kita. Raih mimpi besar kita, dengan menjadikan "lingkaran besar" orang-orang bahagia di sekeliling kita. Tuhan tahu kapan saatnya.

Maka, di dinihari yang dingin berangin ini, sambil mengingat kang Entang, selamat menjadi orang yang berguna. Bismilah.

Tidak ada komentar: