Kamis, 21 Januari 2010

Empat tahun lalu, tepat empat tahun lalu


Empat tahun lalu, tepat empat tahun lalu. Di depan rumah, terparkir Honda all new civic tahun terkini, warna silver, transmisi otomatis, BBM-nya harus Pertamax. Di STNK tertera pemiliknya adalah perusahaan tempat saya bekerja. Mobil itu biasa nongkrong di depan rumah, paling cepat lepas pukul sebelas malam hingga paling lambat pukul enam tiap paginya. Kadang dalam sebulan, mobil itu ada di Jalur Jakarta - Solo sampai Surabaya selama seminggu lamanya. Tak peduli hujan panas cuacanya.

Di mobil yang kilap itu, duduk saya kadang ditemani teman saya Firman dan Turino (kini mereka bekerja di Koran Jakarta). Dulu kami sering bergumam, kapan kita bisa hidup merdeka, menikmati hasil karya kita sendiri sambil mengantar anak-anak ke sekolah. Di dalam mobil yang kilap itu, kami berkejaran dengan target...target...dan target yang tak henti naik, bahkan sebelum kami sempat mencapai target sebelumnya. Tapi, tetap saja dengan AC-nya yang berhembus dingin, aroma kulit joknya yang khas dan wangi; sungguh melenakan.

Hingga, suatu titik, saya dipertemukan dengan seorang pengusaha nekad, pemilik waralaba burger kelas pinggir jalan. Entah kenapa, saya yang sarjana universitas hebat di negeri ini, yang menjadi General Manajer di sebuah perusahaan media paling unggul : bisa terpikat. Seorang sarjana berjualan burger...kelas pinggir jalan. Saya ingat, modalnya hanya 3 juta saat itu.

Tapi barangkali itulah hidup.

Langkah kecil sudah diayunkan. Burger kelas pinggir jalan, sudah berkembang, karena yang saya pikirkan hanya maju dan berjuang. Peni (kawan saya yang kini bekerja di TVOne), masih ingat, bagaimana tertatih-tatihnya konter yang engkau titipkan pada saya untuk dikelola. Kini konter itu sudah tidak ada.

Hingga hari itu tiba.

Tak kuasa membendung politik kantor yang busuk, dan dorongan untuk merdeka : maka Honda all new civic yang berwarna silver mengkilap, yang BBM-nya harus Pertamax saya kembalikan kepada yang punya. Beserta gaji delapan digit dan segala fasilitas gemerlapnya. Menuju sebuah masa depan -yang sebagian teman bilang akan gelap.

Tapi - barangkali- itulah hidup. Mengutip kata Rendra : sekali dalam hidup, manusia harus menentukan sikap.

Tidak ada lagi mobil yang mengkilap, tidak ada lagi jabatan yang hebat. Setiap pagi, adalah hari mengantar daging dan roti, ditemani si biru Smash "Davidson" (...ah, dia hingga kini masih ada). Hujan dan panas. menghitung omzet receh demi receh, tertatih menggaji karyawan di tiap ujung bulan.

Tapi, hari ini, di teras belakang rumah baru kami, dalam teritik bunyi air hujan ditemani secangkir MISTERBLEK Ginger yang baunya menggoda hati, semua itu terasa indah. Bukan lagi cuma sekedar materi; tapi kabar bahagia dan distributor dan mitra yang kini bisa membuka usaha sendiri, menghidupi karyawannya dan meng-anak pinak-kan bisnisnya. Apalagi yang lebih manis dari itu.

Terima kasih pada kawan, sabahat...distributor dan mitra. Ini adalah pengalaman hidup yang luar biasa. Yang dimulai empat tahun lalu, tepat empat tahun lalu. Kalau saya bisa, apalagi anda -- yang tentu jauh lebih hebat dari saya -- pasti bisa.

Saya ingat nasihat mas Jainal (yang saat ini bekerja di Majalah Trust) : Gusti Allah tidak tidur.

Salam sukses Luar biasa.

1 komentar:

j mengatakan...

YA MAS...GUSTI aLLAAH tidak sare......