Kamis, 28 Januari 2010

Kali ini, cerita tentang Tukang Tahu


Namanya Tohir, asli Cirebon. Lajang tidak lulus SMP, usianya -menurut pengakuannya- belum genap 25 tahun. Sudah 10 tahun merantau, dengan segala macam pekerjaan telah digelutinya. Kini, sudah hampir genap tiga tahun ditekuni profesi terakhirnya sebagai Tukang Tahu : menjual segala macam tahu berkeliling dengan motor Supra Fit-nya.

Dia muncul tiap pagi di depan rumah saya, pagi ini dia nongol ketika saya sedang mencuci mobil.

Dengan percaya diri, pagi tadi, dia menggoda setiap pembantu rumah tangga yang lewat di depan rumah saya. Lalu dia riang bercerita.

Menjadi tukang tahu selama 3 tahun terakhir adalah ladang rejeki yang baik baginya. Kehidupan sebagai kuli angkut di Pasar Induk, tukang bangunan hingga pedagang kakli lima -yang sempat berkali digaruk Tramtib- sudah dilewatinya. Tohir, ingin berumahtangga. Saya kira itu jawaban kenapa dengan pede dia menggoda setiap pembantu rumah tangga yang lewat depan rumah saya.

Tidak ada nada keraguan ketika dia bercerita soal rencana-rancananya. Hasil berdagang sudah berujud motor sebentar lagi lunas cicilannya, bisa ikut "urunan" batu bata untuk membangun rumah orang tuanya nun di Cirebon sana, sepetak sawah yang tak terlalu luas (katanya) dan dia ingin segera berumahtangga. Tidak ada keraguan soal akan bagaimana nanti kelangsungan usahanya, sebagai tukang tahu keliling, dengan omzet paling besar 400 ribu sehari.

Tohir hanya yakin semua bisa dilaluinya. Perjalanan panjang 10 tahun di perantauan, dari ujung kehidupan paling busuk sudah membentuknya.

Kata Tohir: jaman dulu saya sudah pernah tidur beralas koran, beratap langit. Bekerja sebagai kuli angkut dengan bayaran 40 ribu SEHARI. Bergaul dengan segala strata paling busuk di tataran kehidupan manusia. Jadi -lanjut Tohir lagi- buat saya tak ada lagi ketakutan untuk menghadapi kondisi paling buruk dalam hidup. Dasar kehidupan yang buruk telah dialaminya.

Kini, dengan motor yang sudah dimilikinya, dagangan tahu yang menyumbang keuntungan ke pundinya ditambah KEYAKINAN bahwa esok pasti lebih baik : Tohir menjalani hidup dan menghadapi masa depannya.

Kita belum pernah seburuk Tohir. Barangkali dasar terburuk kehidupan kita barulah terlilit hutang, naik turun angkot untuk mengejar gaji yang" kecil" atau masih tinggal di rumah kontrakan yang sempit.

Tapi lihatlah Tohir, hidupnya FOKUS. Fokus mengejar masa depan - yang menurut keyakinannya - pasti lebih baik, walau hanya sebagai tukang tahu. Maka, saya kira, fokus pada keyakinan adalah kuncinya.

Fokus bahwa hutang yang melilit akan selesai (dengan terus mengais segala peluang dan sumber nafkah yang halal), fokus pada keyakinan nasib anak-anak kita lebih baik di masa nanti (dengan menyekolahkannya di sekolah terbaik) : Insya Allah akan tercapai. Tentu, karena kita beragama, kekuatan doa juga ikut menentukan.

Maka, belajar dari Tohir Tukang Tahu yang sedang pede dan genit menggoda para pembantu rumah tangga di depan rumah saya : FOKUS dan terus "BER-AKSI" lah; karena masa-masa terburuk sudah hampir kita lalui, masa depan yang gilang gemilang sedang menunggu.

Kalau Tohir -seorang Tukang Tahu Keliling - saja bisa, apalagi kita.

Semoga menginspirasi.

Basri Adhi
http://bazz-misterblek.blogspot.com
http://lafuneste-stroy.blogspot.com

Kamis, 21 Januari 2010

Empat tahun lalu, tepat empat tahun lalu


Empat tahun lalu, tepat empat tahun lalu. Di depan rumah, terparkir Honda all new civic tahun terkini, warna silver, transmisi otomatis, BBM-nya harus Pertamax. Di STNK tertera pemiliknya adalah perusahaan tempat saya bekerja. Mobil itu biasa nongkrong di depan rumah, paling cepat lepas pukul sebelas malam hingga paling lambat pukul enam tiap paginya. Kadang dalam sebulan, mobil itu ada di Jalur Jakarta - Solo sampai Surabaya selama seminggu lamanya. Tak peduli hujan panas cuacanya.

Di mobil yang kilap itu, duduk saya kadang ditemani teman saya Firman dan Turino (kini mereka bekerja di Koran Jakarta). Dulu kami sering bergumam, kapan kita bisa hidup merdeka, menikmati hasil karya kita sendiri sambil mengantar anak-anak ke sekolah. Di dalam mobil yang kilap itu, kami berkejaran dengan target...target...dan target yang tak henti naik, bahkan sebelum kami sempat mencapai target sebelumnya. Tapi, tetap saja dengan AC-nya yang berhembus dingin, aroma kulit joknya yang khas dan wangi; sungguh melenakan.

Hingga, suatu titik, saya dipertemukan dengan seorang pengusaha nekad, pemilik waralaba burger kelas pinggir jalan. Entah kenapa, saya yang sarjana universitas hebat di negeri ini, yang menjadi General Manajer di sebuah perusahaan media paling unggul : bisa terpikat. Seorang sarjana berjualan burger...kelas pinggir jalan. Saya ingat, modalnya hanya 3 juta saat itu.

Tapi barangkali itulah hidup.

Langkah kecil sudah diayunkan. Burger kelas pinggir jalan, sudah berkembang, karena yang saya pikirkan hanya maju dan berjuang. Peni (kawan saya yang kini bekerja di TVOne), masih ingat, bagaimana tertatih-tatihnya konter yang engkau titipkan pada saya untuk dikelola. Kini konter itu sudah tidak ada.

Hingga hari itu tiba.

Tak kuasa membendung politik kantor yang busuk, dan dorongan untuk merdeka : maka Honda all new civic yang berwarna silver mengkilap, yang BBM-nya harus Pertamax saya kembalikan kepada yang punya. Beserta gaji delapan digit dan segala fasilitas gemerlapnya. Menuju sebuah masa depan -yang sebagian teman bilang akan gelap.

Tapi - barangkali- itulah hidup. Mengutip kata Rendra : sekali dalam hidup, manusia harus menentukan sikap.

Tidak ada lagi mobil yang mengkilap, tidak ada lagi jabatan yang hebat. Setiap pagi, adalah hari mengantar daging dan roti, ditemani si biru Smash "Davidson" (...ah, dia hingga kini masih ada). Hujan dan panas. menghitung omzet receh demi receh, tertatih menggaji karyawan di tiap ujung bulan.

Tapi, hari ini, di teras belakang rumah baru kami, dalam teritik bunyi air hujan ditemani secangkir MISTERBLEK Ginger yang baunya menggoda hati, semua itu terasa indah. Bukan lagi cuma sekedar materi; tapi kabar bahagia dan distributor dan mitra yang kini bisa membuka usaha sendiri, menghidupi karyawannya dan meng-anak pinak-kan bisnisnya. Apalagi yang lebih manis dari itu.

Terima kasih pada kawan, sabahat...distributor dan mitra. Ini adalah pengalaman hidup yang luar biasa. Yang dimulai empat tahun lalu, tepat empat tahun lalu. Kalau saya bisa, apalagi anda -- yang tentu jauh lebih hebat dari saya -- pasti bisa.

Saya ingat nasihat mas Jainal (yang saat ini bekerja di Majalah Trust) : Gusti Allah tidak tidur.

Salam sukses Luar biasa.

Semoga Besok bukan Senin yang Biasa


Saya tulis notes ini pada hari minggu, ketika senja sudah mulai lelah : lengkap dengan bau embun yang sudah mulai jatuh membasahi tanaman alang-alang di teras belakang rumah, sudut favorit penuh inspirasi di rumah saya.

Besok hari Senin.

Penghujung tahun 2004, menjelang kedatangan 2005, saya mendapat tawaran dari seorang kenalan-yang sekaligus mantan atasan- untuk turut membangun sebuah koran baru. Di belakang koran ini adalah salah sebuah grup besar penentu kiri kanan bisnis negeri ini. Saya bersedia, karena saya tertantang.

Sederet angka diajukan sebagai kompensasi, dan saya menerima. Toh, tak ada lagi selain menerima deretan angka itu, karena tantangannya merangsang segenap syaaf neuron saya : bayangkan, membangun sebuah koran baru -milik perusahaan besar- dari nol. Hingga semua pekerjaan tiba, tak henti bagai air bah, lengkap beserta target-targetnya. Tak terlintas keinginan mendapatkan fasilitas lain, misal seperti mobil dan lainnya.

Hingga masuklah para pejuang palsu pemburu gaji besar belaka. Belum bekerja, sudah banyak yang diminta. Berkah buat saya, yang tak tadinya tak mendapat mobil; karena sang pejuang palsu mendapatkan fasilitas itu, maka aya ikut kecipratan enaknya.

Tapi politik kantor tetap politik kantor. Para pejuang palsu berjaya. Belakangan saya dengar gaji mereka jauh lebih besar dari apa yang saya terima. Demikian juga para pejuang palsu pada generasi yang selanjutnya.

Tapi, belakangan : pak Mario Teguh -- sore tadi -- mengisnpirasi saya. Apa yang saya telah capai hari ini sungguh hal yang luar biasa. Pada malam yang lelah ini, saya berandai-andai : bila saja dulu saya bertahan dalam jeratan politik kantor yang penuh kosnpirasi, maka apa yang saya terima barangkali hanya sebatas gaji sebagai mahlkuk kerdil yang tak punya keberanian apa-apa.

Kini, selain rasa syukur yang terucap tiap bagi-saat bangun pagi bersama hari yang segar- juga sirnanya segala penyesalan akan pahitnya masa itu. Tak cuma materi yang membuat kami bisa makan nasi tiap hari, tapi keputusan besar pada waktu itu membawa saya bertemu banyak teman-teman yang luar biasa : yang bahkan mereka belum pernah saya kenal sebelumnya.

Maka, bila besok Senin anda ingin menjadi Senin yang tidak biasa; maka lakukan hal yang berbeda. Hal yang berbeda akan membawa hasil yang berbeda. Saya yakin, "gaji" anda semua -teman-teman saya yang luar biasa -- pasti lebih dari sekedar 4 - 5 juta yang akan habis pada saat bulan masih muda.

Lakukan hal berbeda, lakukan langkah kecil untuk sebuah lompatan besar. Anda yang kini dibayar karena menawarkan sesuatu pada klien anda, maka besok senin kerjakan itu dua kali lebih banyak dari biasanya. Anda yang digaji tetap sebagi pegawai, kerjakan hal berbeda selepas anda kerja, bahkan hanya dengan hal sepele seperti berjualan pulsa misalnya.

Uang bukan segalanya : tapi seperti kata pak Mario Teguh : kebahagiaan akan tiba setelah kesejahteraan. Kesejahteraan akan menghampiri, bila kita punya cukup uang untuk menutupi semua kebutuhan dan biaya.

Maka, supaya tak berpanjang kata-karena hari makin lelah dan larut, ayo..kita songsong Senin besok, bukan seperti Senin yang biasa. Kita lakukan banyak hal berbeda, bertemu dengan orang-orang baru yang berbeda. Untuk mendapatkan hasil-hasil baru yang berbeda.

Semoga Gusti Allah menyertai langkah kita

Bukan cuma materi ...


Pagi-pagi ingin berbagi. Beberapa hari lalu saya berkesempatan melakukan wawnacara untuk salah satu calon sopir untuk kantor kami. Sebut saja namanya pak Kukuh. Beliau datang wawancara atas rekomendasi seorang teman saya, yang iba melihat kondisinya.

Dari wawancara dia terungkap, bahwa kondisi finansialnya sedang dalam kondisi kronis, sangat kronis malah. Semua asset yang beliau miliki sudah tergadai, dalam arti harfiah, untuk melanjutkan hidup. Tidak ada aktivitas produktif yang dia lakukan selain hanya bekerja serabutan kiri kanan. Potret ironi dibanding hotel prodeo bintang lima yang sedang ramai dibicarakan.

Setelah wawancara, saya melihat ada "persoalan mendesak" yang harus diselesaikan beliau, dan saya bisa bantu dengan memberikan sebuah pekerjaan yang saat ini sedang diperebutkan paling tidak oleh 8 pelamar lainnya. Tim kami langsung menerangkan standar gaji yang ada(gaji pokok, uang harian, insentif dalam kota dan insentif luar kota : yang ini juga berlaku untuk 6 karyawan kami di kantor pusat), beliau menyatakan bersedia.

Tapi tunggu punya tunggu, pada saatnya dia sudah seharusnya sudah masuk bekerja, dia tak menampakkan diri. Tak ada kabar.

Lalu, bertelelponlah saya dengan teman yang merekomendasikan beliau. Usut punya usut, pak Kukuh memutuskan tak mau mengambil pekerjaan ini, karena dalam "perhitungannya" gaji yang akan dia akan terima tidak akan cukup memenuhi "kebutuhannya", bahkan jauh sebelum dia memulai bekerja.

Kadang, kita memakai logika dan perhitungan manusia dalam menghitung rejeki yang diberikan Tuhan.

Dalam berhubungan bisnis dengan mitra, banyak dari kita yang langsung memtuskan TIDAK ketika kita hitung bisnisnya hanya memberikan keuntungan kecil (bahkan, sebenarnya tidak rugi : hanya keuntungannya kecil). Kita sering menolak dan melewatkan peluang, hanya karena dalam perhitungan kita -sebagai manusia- bisnis itu menyumbangkan "recehan" dalam pundi materi kita.

Dalam banyak pelajaran yang diberikan oleh "guru-guru" saya yang telah malang melintang di bisnisnya, mereka memiliki prinsip yang agak berbeda. Bisnis bukan semata materi. Tapi Bisnis juga ada seni, seni bersilaturahmi, seni berhitung dan seni berserah diri. Kata mereka, jangan menolah sebuah peluang sekecil apapun -asal sudah pasti tidak merugikan- karena peluang tetap saja peluang.

Ketika bisnisnya kecil, baiklah kiranya kita banyak berdoa, agar mitra bisnis kita diberikan kesehatan, agar bisa membesarkan bisnisnya dan kita ikut kecipratan efeknya. Disini logika dan matematika manusia tidak laku.

Dalam kasus pak Kukuh, dengan segala hormat, beliau telah kehilangan salah satu peluang rejekinya : karena berprasangka dengan logika manusia. Dan menurut para guru saya, berbaik sangkalah, bersilaturahmilah, peliharalah hubungan baik dan berdoalah. Tentu dengan usaha dan ikhtiar semaksimal mungkin yang kita bisa.

Toh, di dunia kita hidup juga cuma sementara; ada "profit" dari bermuamalah di dunia, tapi yang paling penting kan "pahala" yang kita tak bisa tebak besarnya di akhirat nanti.

Maka, Bismillah : action !

Senin, 18 Januari 2010

Belajar dari David Silver di San Quentin State Prison


Namanya David Silver. Dia bukan kyai atau sejenisnya. David, adalah penjahat paling top diantara penghuni barak ber-keamanan maksimum di San Quentin State Prison, sebuah penjara paling tua dan terkenal "angker" di Amerika sana.

Cerita ini saya dapat dari reportase khusus Louis Theroux dari BBC knowledge yang ditayangkan di saluran TV berbayar dalam kamar saya tadi baru saja.

David Silver -tak tanggung-tanggung- menjalani masa hukuman 11 kali seumur hidup (atau setara 500 tahun), artinya tak ada kans untuknya bisa bebas. Reputasinya luar biasa : merampok dan membunuh korbannya dengan kekejian di luar batas akal normal manusia, membuatnya sangat disegani di kalangan narapidana geng negro maupun geng kulit putih di sana. Dalam tayangan itu bercerita, bahkan ketika makan siangpun si David mendapat perlakuan sangat istimewa : barangkali-dalam bayangan saya - seperti Dr Hannibal Lecter dalam Trilogy-nya Thomas Harris.

Tapi, BBC mengungkapkan sisi manusia David, yang membuat kita harus banyak merenung dan belajar darinya.

Davis sadar akan reputasinya. Dia adalah sosok paling disegani di seantero penjara San Quentin. Orang lain di sana bahkan akan langsung mengkerut nyalinya cukup dengan mendengarkan namanya. Namun, ironi bagi David.

Dia berkata, tak akan mengambil kesempatan keluar dari penjara (bilapun bisa) : hidup normal sebagai manusia bebas di dunia segar dan nyata. Kegamangan besar David juga melanda melanda sebagian besar narapidana di sana.

Karena ketika dia bebas, berada di dunia luas sana : David bukan siapa-siapa. Di penjara bolehlah dia menjadi "tokoh" yang hebat luar biasa, namun tetap saja di dunia nyata di luar penjara orang tidak akan peduli akan eksistensinya.

Maka David Silver mengajari kita untuk melihat ke dalam diri kita sendiri. Di lingkungan kita, barangkali, kita adalah bos besar dengan kuasa luar biasa. Seorang pimpinan dengan wewenang luas dan kekuatan besar mengendalikan dunia.

Tapi, sebenarnya siapa kita di luar lingkungan kita? Adakah kita menjadi seseorang (yang memberi manfaat) atau bukan siapa-siapa?

Dalam setiap kesempatan saya berusaha mengingatkan diri sendiri juga para mitra serta distributor-distributor saya. Ambil kesempatan untuk berada di luar di lingkungan kita sekarang. Lewati batas tembok yang menghalang, bertemu dengan orang-orang yang belum pernah kita kenal sebelumnya.

Tulislah pengalaman-pengalaman berharga, yang sedih dan bahagia : untuk bisa memberikan inspirasi pada sesama. Buatlah buku, website atau blog yang -barangkali- sederhana saja. Tapi isilah media itu dengan pengalaman kita yang paling berharga. Berbagilah, walau hanya cerita.

Maka, saran saya : mumpung nge-blog belum dikenai biaya, kita mulai "menjadi seseorang" bagi manusia-manusia lain yang belum pernah kita kenal sebelumnya. Berikan manfaat dengan jatuh bangunnya kita membangun sebuah usaha yang bersahaja, dengan satu kata : inspirasi.
Tulislah, walau sebaris cerita.

Dari sana, semoga kita tak menjadi David Silver di San Quentin yang perkasa, tapi gamang bebas karena takut tak menjadi siapa-siapa di dunia nyata. Toh, tak ada ruginya berbagi cerita.

Maka Bismillah...action !

Minggu, 03 Januari 2010

Bukan cuma Materi, tapi ...


Dia hanya berjualan kerupuk. Apa artinya kerupuk, yang sebungkus isi 5 gelundung harganya hanya 1000 rupiah, dibandingkan bisnis miliaran para pegawai wangi berdasi dan pengusaha besar di republik ini. Tapi, karena hanya berjualan kerupuk, beliau sangat mengisnpirasi saya.

Namanya -sebut saja- Pak Amin. Saya tak berjumpa langsung dengannya, hanya ngobrol dengan Maman, seorang anak buahnya : pengecer kerupuk dengan sepeda, yang kebetulan numpang rehat di gardu siskamling depan rumah saya. Dari Maman-lah saya mendapat banyak cerita, tentang pak Amin dan perjuangannya.

Keluar dari sebuah pabrik kerupuk di Tangerang akhir tahun 2007, pak Amin memutuskan untuk memulai perjuangannya sendiri. Dengan modal dan peralatan seadanya, dia memulai usaha : membuat pabrik kerupuk di pojokan daerah POMAD - Ciluar Bogor. Di bedeng sewaan ukuran 6 x 6 yang disewanya untuk pabrik, tempat tinggal dan "asrama" bagi 4 orang tetangga kampungnya (2 orang membantu produksi, dan 2 orang berkeliling menjajakan kerupuk) : awal 2007 tonggak awal sebuah usaha ditancapkan.

Maman bercerita: ketekunan, kemauan kuat dan tidak mudah menyerah adalah rahasia sukses pak Amir. Pak Amir adalah naungan bagi para anak buahnya, yang notabene adalah teman-teman sekampung yang kurang beruntung nasibnya. Pak Amir tetap pembuat kerupuk, duduk seharian sambil mencetak kerupuk, walau dia seorang pengusaha. Tapi, kadang pak Amir juga berpeluh menggenjot sepeda bila anak buahnya sedang sakit tak bisa menjajakan barang dagangannya.

Tapi, lanjut Maman, kini cerita sudah berbeda. Dengan 11 orang anak buahnya, keuntungan bersih 12 juta setiap bulannya : Pak Amir mulai berdaya. Dibelinya tanah yang dulu disewanya, diperbesarlah kapasitas usaha; dan kini beliau sedang mengajari 5 penjaja kerupuk baru untuk memperluas areal jualannya.

Kerupuk bisa mengubah dunia.

Maka, di tanggal yang masih muda dalam tahun baru ini; agaknya sudah seharusnya kita mulai berfikir. Mencermati dan berefleksi : adakah perubahan besar yang sudah kita buat sepanjang tahun lalu? Tak cuma karena materi kita yang bertambah banyak, dompet kita yang bertambah tebal...namun, berapa orang yang menjadi berdaya karena buah perjuangan kita?

Pak Amir, lewat mulut Maman penjual kerupuk keliling di depan rumah saya, menusuk dalam dengan inspirasinya.