Jumat, 07 Desember 2012

Surat untuk Kawan di Selatan

Jikalau ini akan menjadi akhir sebuah gerakan, saya berharap ini adalah gerakan yang baik. Maksudnya sederhana, hanya membuka yang gelap karena ditutupi dan membongkar skenario yang dipendam rahasia. 

Saya -selalu- percaya tim yang "zonder hierarchy" akan lebih mudah mencapai kejayaannya, karena pribadi yang merdeka akan lebih kreatif dan berfikir terbuka; tanpa dihantui oleh sekat jenjang tingkatan, apalagi ketergantungan atas materi semata.  Kalaupun ada jabatan, itu hanya "brevet" semata.  Dia tak selalu berhubungan dengan kreatifitas dan kepintaran, dia hanya berhubungan dengan waktu serta posisi atas bawah, kiri dan kanan.  Bahkan, jabatan bisa juga lebih dekat ke soal keberuntungan.

Bila gerakan ini nanti ada hasilnya, saya berharap hasilnya baik dan bermanfaat buat kita semua. Tapi bilapun tak ada, jangan itu menyurutkan langkah kita untuk terus mencari kebenaran dan kemerdekaan. Karena Jiwa yang Bermartabat, adalah Jiwa yang Merdeka.

Saya percaya kata Goenawan Mohamad, "Selalu bersiaplah menjadi manusia yang terus memperbaiki keadaan, tetapi bersiap pula untuk melihat bahwa perbaikan itu tidak akan pernah sempurna dan ikhtiar itu tidak pernah selesai"

Saya tak pernah memilih menjadi lawan- dari siapa saja,  saya hanya terilhami kata Ayu Utami : "bukankah sebuah garis lurus selalu memiliki dua seberang? Dan kita pasti hanya bisa berada di sebuah seberang pada satu waktu.  Kita harus memilih.  Maka, ketika pilihan itu sudah dibuat, jangan benci seberangmu.  Kita membutuhkan "lawan" untuk membuat sebuah garis lurus.  Jadi, jangan benci lawanmu, jangan benci yang beda darimu".

Hanya saja saya tak pernah betah melihat "penindasan" itu berlangsung, bagaimanapun halusnya dia dikemas. Biarlah saya merugi seumur hidup, tapi keyakinan harus ditegakkan. Tak ada penilaian manusia yang perlu ditunggu, sepanjang Tuhan masih setia memantauku. Tuhan itu Ada.

Kita menunggu, karena kita telah mencoba sebisa kita, salah atau benar kita serahkan kepadaNya. Jadi kalau kata Handry satriago, "Ketakutan adalah mekanisme paling primitif untuk "survive", kita berharap bisa berada dalam golongan orang yang tegak berdiri menantangnya, dan bukan lari terbirit sambil kencing di celana."

Terima kasih atas doa dan dukungannya, salam untuk semua.

Kamis, 06 Desember 2012

Maka Cafe ini Seperti Hidup Kita (catatan 28 Oktober 2011)


Saya tulis catatan ini di sebuah cafe kecil, di pojok ruang tunggu keberangkatan terminal 1C bandara Soekarno Hatta.  Ini barangkali seri perjalanan terakhir saya -tahun ini- bersama MISTERBLEK berkeliling Indonesia menjajakan kopi dan bisnis kopi.  Di cafe ini, kopinya lumayan saja, tak terlalu istimewa.  Tapi lalu lalang orang yang keluar masuk lebih menarik perhatian saya.

Saya tak tahu pasti, bapak yang berkumis lebat dengan batik mengkilapnya, mau ke mana.  Atau gadis tomboy, dengan MacPro di kempitannya.  Tapi mereka nampak bergegas, barangkali karena tak mau ketinggalan pesawat yang akan membawanya.

Dan itulah gambaran kecil hidup kita.

Di cafe yang kita cuma bisa singgah, kita bisa memilih tersenyum kepada para barista, atau memasang muka garang di hadapan mereka.  Di sini kadang kita ingin singgah lama, tapi karena panggilan dari loudspiker, membuat kita bergegas meninggalkan cafe dan menuju pesawat yang menunggu.  Masing-masing punya tujuan, dengan pilihan saling menyapa di cafe ini, atau cuek saja.  Itulah hidup.

Kadang, di dunia ini kita tak sadar bahwa kita seperti mampir ngopi di cafe.  Kita bisa tak jujur berbicara kepada lawan bicara kita, karena bohongpun mereka tak akan tahu.  Toh, hanya ketemu cuma sekejap dan langsung berpisah.   Bohong dan jujur adalah pilihan belaka.  Dalam hidup kita juga seperti itu adanya.  Untuk sebuah tujuan, kadang kita sibuk membuat kebohongan dimana-mana.

Lalu, seorang ibu, yang terseok dengan barang bawaan dan anak kecil yang menggelendotinya bergegas pergi.  Cangkir kopi dan gelas jus terserak di atas meja, hingga waiter sibuk membersihkannya.  waiter berbaju hijau berekspesi datar membersihkan meja, mengelap dan merapikannya.  Barangkali itu beban hidupnya, membersihkan serakan sampah dan gelas kotor di cafenya.  Dalam hidup yang bergegas ini, kita juga tak beda.  Kadang kita meninggalkan kesalahan, tanpa mau -atau sempat- membersihkannya.  Hingga seseorang yang akan dengan tulus mengelap dan menyapunya.  Bahkan tanpa kita tahu bagaimana perasaannya.  Yang penting, urusan kita sudah selesai.

Maka cafe ini adalah dunia.  Kita lewat, mampir ngopi, meninggalkan gelas kosong dan kotor serta bergegas menuju pesawat yang membawa kita.  Pilihan kita, jujur pada kawan bicara kita, tak meninggalkan kotoran di meja dan selalu membuka mata : bahwa kita tak tahu kapan kita harus keluar dari sana.

Hidup tak selalu sulit, buat kita yang jujur melaluinya.