Rabu, 30 Juli 2008

Koran SINDO, setelah 3 tahun, kini ada dimana...


Akhir Juni lalu -tepatnya yanggal 30 Juni, kebetulan pas berbarengan hari kelahiranku- Sindo berulang tahun ke tiga. Masih balita. Tapi akselerasi yang luar biasa di awal terbitnya, membuat beberapa koran yang sudah mapan jeri melihatnya.

Tak penting benar membicarakan apa yang telah mereka lakukan hingga ulang tahunnya yang ketiga. Kadang datar, tetapi kadang penuh kejutan. Terbitnya SINDO sore cukup menggetarkan, walau tidak ditunjang dengan strategi pemasaran yang pas dan matang, disusul dengan penutupan edisi sore itu juga cukup membingungkan. Hikayat yang beredar, SINDO sore ditutup karena tak laku dijual, hanya dibagi gratis dan tak menghasilkan uang. Barangkali bukan tak laku dijual, namun tim pemasarannyanya tak bisa menjual. Ya, karena untuk edisi sore -walaupun bukan hal yang baru-baru banget- mereka pioneer.

Kini, setelah tiga tahun, saya mulai kehilangan SINDO. Dia menghilang dari dekapan pengecer dan tak muncul dari jepitan yang digantung tukang koran pinggir jalan. Ada apa ?

Kabar yang beredar, peredaran mereka turun tak keruan. Barangkali karena kenaikan harga, atau bisa jadi karena korannya tak pernah berubah tampilan. Walau ketebalan halamannya sangat menyenangkan pembantu di rumah (karena kecipratan rezeki dari koran kiloan); berita yang ditulis di SINDO nyaris seperti pengumuman di papan kelurahan, datar tanpa ekspresi dan gejolak. Tak layak memang disandingkan dengan Koran Tempo-misalnya. Apalagi Kompas.

Dan saya, adalah salah satu pelanggan yang meninggalkan koran ini, saat usianya menjelang 3 tahun.

Ada semacam kebosanan. Tapi, saya tak tahu bagaimana mereka mengaturnya di dalam. Tapi, buktinya, SINDO sudah sulit dijumpai di jalan. Bukan tak mungkin juga mereka juga punya problem di pemasaran. SINDO harus segera bebenah, sebelum dana yang dikucurkan semakin membuncah, kerugiannya juga nya makin melimpah.

Perubahan untuk diciptakan, bukan ditunggu


Usianya barangkali sepantaran dengan saya. Barangkali juga lebih muda. Semangat yang menyala tergambar dari suara mantap dalam setiap pembicaraan kami, juga terpancar dari balik kaca mata minusnya.

Dia mantan karyawan sebuah bank, yang tergulung bersama krisis ekonomi tahun satu dekade lalu. Sebuah peristiwa selalu menuntun nasib manusia pada peristiwa yang lain, bahkan itu sebuah peristiwa kematian. Karena bank dimana dia bekerja gulung tikar, maka dia pun terkena rasionalisasi. Memasuki peristiwa lain yang tak diduga tak mungkin belum sempat dipersiapkan antisipasinya membuat dia harus berfikir keras agar pertahanan rumah tangganya tetap kokoh seperti sediakala. Dan melamar kerja lagi, bukan pilihannya rupanya.

Pak Iwan Agustian-kini, sepuluh tahun kemudian. Saya bertemu dengan sekali, 3 bulan lalu, dan kini dipertemukan kembali. Dia Sudah menemukan hakekat hidupnya: Bahwa Perubahan bukan ditunggu, tetapi diciptakan. Tak kurang Empat webstore dia miliki dengan pertumbuhan bisnis yang sangat menjanjikan. Rupanya yang selalu pepatah bilang, dimana ada kemauan disitu ada jalan, berpihak pada pak Iwan. Tak memiliki toko dalam arti harfiah, tak membuatnya menyerah. Ya, dengan teknologi, apa saja bisa dikerjakan. Dengan bisnisnya di dunia maya, kini dia berekspansi.

Pak Iwan telah melebarkan sayapnya. Tadi pagi saya bertemu pada pembukaan perdana kedai bakso malangnya. Barangkali saya adalah tamu-nya yang pertama. Mimpi kami sama besarnya. Bahwa kami hanya akan menjadi inisiator bagi orang lain untuk mencicipi nikmatnya berwirausaha, biarlah kami menjadi dalang dibalik kesuksesan para mitra, kami cukup berada di belakang layar saja.

Pak Iwan, dengan semangat anda, kami hanya bisa berdoa, semoga sukses selalu menyertai anda. "Congrats" atas peresmian Bakso Malang AA-nya.

Senin, 21 Juli 2008

Bertemu orang Sukses

Saya sama sekali tak mengenal dia sebelumnya. Usianya sepantaran dengan saya, karena usia kelahiran kami sama. Sekali lagi, kekuatan Tuhan menggerakkan saya bertemu dia. Pancaran matanya menyala-nyala merepresentasikan semangat yang berkobar-kobar.

Usia kami yang sepantaran, membuat saya kesulitan menemukan panggilan yang pas-adakah pak atau mas. Saya panggil saja dia Djoni.

Dia bernama Djoni Widjaya. Sekali lagi, saya tak kenal benar siapa dia. Tapi, saya yakin saya berada dalam satu haluan ideologi yang sama dengannya. Akunya, bahkan dia tak sempat menyelesaikan bangku sekolahnya, memulai bisnis sebagai pemilik galeri seni sejak usia belia, dan sejak empat tahun lalu memiliki usaha yang bergerak dalam banyak hal berhubungan dengan promosi dan media.

Definisi sukses adalah MENJADI, bukan MEMPEROLEH. Sebuah penyataan yang mengagetkan. Karena, saya tak pernah mengenalnya, dan kata-kata itu kebetulan selalu saya simpan di dalam hati saya. Dia sependapat dengan saya, bahwa banyak anak muda kini tidak melihat proses sebagai bagian penting dari hidup. Ke-instan-an yang ditularkan oleh tivi dan media lainnya memaksa banyak anak muda-walau tak semua- ingin mendapatkan hasil besar tanpa harus melakukan apa-apa.

Lalu, kami bertukar keprihatinan soal banyaknya pengangguran, rendahnya etos kerja dan sebagainya. Sebelas tahun menjalankan usaha dilaluinya dalam gelombang asam, manis dan pahit yang silih berganti. Sarannya, jangan percaya pada penampilan luar, karena sebenarnya HATI-lah yang bekerja. Bila hatinya baik, maka hasil pekerjaannya pun akan baik.

Saya pikir, pertemuan kemarin membuat saya harus lebih banyak bertemu orang yang sukses seperti seorang Djoni Widjaya; yang sukses karena MENJADI bukan MEMPEROLEH.

Minggu, 20 Juli 2008

Kisah bang Oji...

Nuroji atau bang Oji, karena dia orang betawi asli. Ada gambar oplet dari styrofoam tergantung di dinding ruang tamu rumahnya yang megah di bilangan Tanah Baru Depok. Bang Oji-tetapi saya lebih sering memanggilnya mas Oji, dan dia tak keberatan dengan itu - adalah teman yang dipertemukan oleh kekuatan tangan Allah. Siapa sangka, bang Oji yang asli betawi ini adalah kakak kelas, bertemu sekali hanya 15 menit, dan kemudian menjadi sahabat setalah pertemuan dua tahun kemudian.

Bang Oji, adalah pejuang tangguh dalam arti yang sebenarnya. Saya mengenal dia, dalam pertemuan tak sengaja, rekrutmen sebuah koran di penghujung tahun 2004. Jodoh tak membuat kami bisa sekantor dalam koran itu, hingga tangan Allah mempertemukan dalam koran yang lain medio 2006. Tapi tak lama.
Walau tak lama, kami sempat bertukar cerita soal jalan hidup dan pengalaman kami masing-masing. Hingga kami sepakat meneruskan usaha restoran kepala kakap-nya yang terhenti karena ada satu hal yang menurutnya mengganjal. Walau itu juga akhirnya tak terlaksana.

Bang Oji, walau saya belum sempat lama mengenalnya, menurut saya, adalah pribadi yang sangat luar biasa. Segala pengalaman hidup dari berdagang bakso, mengukur gorden, menjadi bos kurir hingga koki peracik bumbu di restorannya sudah dia jalani, menjual atribut partai adalah sebuah bukti kelegaan rasa iklhas yang dimilikinya untuk menjalani hidup dan membesarkan anak-anaknya yang sudah menjelang remaja.

Bang Oji, dengan kerja keras dan kejujurannya dizalimi di koran terakhir tempat dia bekerja. Kezaliman yang diluar batas. Tapi itulah manusia, bila keserakahan sudah menyelimuti, tak ada lagi ingatan soal kawan. Semua dilibas. Dan bang Oji, sudah menjadi korban.

Kini, roda jaman itu sudah berputar jauh ke atas. Bang Oji, menemukan pelabuhan yang sudah dinantikannya sejak tahun 2000 lalu. Kini, Bang Oji, menjadi pengurus teras sebuah partai, pemimpin sebuah majalah dan memiliki usaha yang sudah diimpikannya sejak dulu : memiliki minimarket waralabadi dekat rumahnya. Minimarket itu -alhamdulillah- ramai sekali kelihatannya. Kini, Allah sudah membalasnya. Bang Oji, sudah mendapatkan buah atas segala cobaan yang dulu dia terima. Sekali lagi, mengutip kata Andrea Hirata : Tuhan tahu, tapi menunggu.

Dengan segala hormat saya pada bang Oji--- di saat banyak anak muda yang skeptis, yang gampang menyerah dan tidak mau berbuat apa-apa selain menunggu nasib dan berharap --- saya salut pada anda. Allah memang maha Adil adanya...

Senin, 14 Juli 2008

Surat untuk KORAN JAKARTA


E-mail ini saya posting ke milis mediacare dan redaksi koran jakarta, 16 juni 2008

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sepulang dari pembukaan cabang baru usaha saya di Subang (http://bazz-misterblek.blogspot.com) , Sabtu (14/06/08) lalu, saya menyempatkan diri mampir ke Bandung, istirahat sejenak di Hotel Putri Gunung Lembang. Hal pertama yang menakjubkan saya adalah koran yang terpajang di lobby, adalah KORAN JAKARTA.


Pertama, karena seingat saya Lembang lebih dekat ke Bandung ketimbang ke Jakarta (dan saya baru ingat, tak sepotong koran lokal bandung yang ada di lobby hotel itu).

Kedua, karena di Jakarta sendiri koran ini seperti masih seperti badak jawa, susah ditemui.

Karena penasaran, saya mencoba kontak dengan beberapa teman yang masih bergelimang dunia koran untuk segera memenmukan jawaban...bahwa ini KORAN JAKARTA atau KORAN BANDUNG. Dari beberapa versi informasi yang saya terima, barangkali, nanti ini juga berguna untuk MANAJEMEN KORAN JAKARTA.

KORAN JAKARTA sebagaimana koran baru lainnya memiliki kesulitan menembus rimba jaringan distribusi konvesional (agen). Hal yang jamak dialami koran baru, apalagi positioning produknya “bertabrakan” dengan harian KONTAN yang memilki dua kebetulan : kebetulan sedang promosi menggeber jumlah pembaca, dan kebetulan milik grup KOMPAS GRAMEDIA. Nah, rupanya daya tembus labirin tim distribusinya masih payah, sehingga KORAN JAKARTA belum bisa tampil di Jakarta.

Lalu, apakah oplahnya kurang besar sehingga tak bisa kelihatan display-nya. Saya dengar tidak juga. Kuota oplah mereka di jakarta sebenarnya sudah cukup untuk membuat mereka cukup tampil di titik-titik mereka harus ada...artinya di lokasi dimana segmen pembaca mereka berada. Dari beberapa info yang saya dapat, bukan oplah yang jadi kendala, ternyata.

Beberapa hari ke belakang, koran ini baru saja mengubah kebijakan harga, yang –saya tak tahu pasti, apakah mereka sadari – justru menempatkan mereka pada posisi sulit di agen. Mereka membuat kebijakan yang mengawinkan variabel penurunan harga dan variabel konsinyasi, hal yang membuat mereka makin tertekan di agen. Kenapa ?

Pada kondisi seperti saat ini, dimana harga per kilo koran bekas mencapai rp 2300 per kilo, adalah peluang besar buat agen yang spekulatif untuk mengambil koran sebanyak-banyaknya (karena harganya murah dan tidak harus laku...maklum konsinyasi), menyisihkan sebagian sisipan dalam gudang (tidak diretur) dan pada saatnya akan dijual dalam bentuk kiloan. Artinya, koran datang—masuk gudang alias tak dijual—sisipannya sebagian dipisahkan dan dijual kiloan. Ketika tiba periode harus me-retur, koran akan kembali ke penerbit dengan sisipan berkurang, dan pasti tak terjual.

Lalu, apakah memungkinkan dilakukan checking kelengkapan sisipan? Dalam kondisi koran murah dan konsinyasi penuh, agen-agen akan melakukan jumlah pengambilan yang spekulatif. Jumlah pengambilan 5000 copies per hari per agen bukan jumlah yang fantsatis. Katakan periode retur mingguan, maka siapa yang akan tekun menelisik sisipan 35.000 copies koran...itu baru satu agen, apalagi kalau sepuluh agen...maka selesailah sudah.

Lalu Bandung? Dari info teman-teman di Bandung, saya mendengar bahwa perwakilan penjualan mereka memperlakukan cara yang cerdik untuk menaklukan pasar, itu kenapa di koran ini lebih mem-Bandung ketimbang Jakarta...

Jadi, sekali lagi mumpung masih baru, ada baiknya segera diperbaiki. Barangkali tak Cuma kebijakannya yang harus diperbaiki, lini SDM di sirkulasinya juga sepertinya urgent untuk dibenahi.

Wassalam

Veteran tukang koran,

Basri Adhi

Pak BAGIR tak mau pensiun


Kalau ada orangtua yang selalu bilang bahwa anak muda tak ada yang cakap, maka saya teringat sebuah iklan rokok. Ini seperti cerita semi fiksi, tapi nyata adanya.

Hari ini di koran pak Bagir bilang (barangkali mewakili kolega-koleganya di MA), bahwa ada baiknya usia hakim agung boleh menjabat sampai 70 tahun. Angka 70, sebenarnya tak penting benar, bahkan kalau perlu sampai 80 tahun...paling tidak "ngumpulin" sisa gaji 10 tahun lagi cukup lumayan buat anak-istri, apalagi kalau seperti sekarang-dimana KPK galak sekali-mau korupsi takut sekali.

Tapi, bayangkan, Urip Tri Gunawan, yang umurnya belum sampai 60 saja sudah pikun setengah mati. Ditanya oleh hakim soal uang sogokoan yang dia terima, jawabnya satu kata (dan konsisten) : Tidak tahu, Tidak ingat. Hebat. Bahkan, bisnis sampingan milik sendiri saja sampai lupa, bisnis berlian atau bisnis bengkel-bengkelan. Yang pasti bukan bisnis bengkel berlian.

Dan apa yang bisa diharapkan dari daya ingat yang sudah mulai terkikis saat 70 tahun menjelang. Apa yang bisa diharapkan soal kemutahiran data yang dimiliki oleh manusia seusia itu, pada jaman virus komputer baru bermunculan tiap detik.

Jadi, apapun alasannya pak BAGIR...sudahlah. Usia 70 tahun lebih enak berkebun atau melancong ke sana kemari. Kapan lagi, pensiunlah-berangkat berkeliling negeri, sambil memandangi anak-anak bergizi buruk di sana-sini, serta menyapa orang-orang seusia anda anda yang sibuk tak beringsut mengantri minyak.

Kalau bisa sih...

(Oya, Fotonya saya kutip dari mas Rendra, TEMPO)

Suara Thersites


Tersebutlah dalam Epos Illiad gubahan Homeros, yang diterjemahkan secara sembarangan oleh Hollywood dalam Helen of Troy; seberkas suara milik Thersites.

Dia cuma prajurit rendah buruk rupa, yang berani bersuara lantang, dan sendiri, menentang Odysseus sang pemimpin. Odyssues dengan kelicinan lidahnya, membujuk para perwira untuk tak meninggalkan pertempuran berdarah selama sembilan belas tahun dalam misi merebut kota Troya.

Suara Thersites berkumandang mengalahkan ketundukan para perwira pada tipu muslihat keserakahan pemimpin terbesar mereka, Odysseus.

Maka saya membayangkan telah menjadi Thersites di beberapa pelabuhan hidup saya. Karena saya prajurit biasa yang buruk rupa, tapi tak berarti menjadi buruk perangai dan hawa nafsu saya. Dan mengutip kata Gunawan Mohamad dalam catatan pinggirnya : bahwa setiap Thersites harus membisu.

Minggu, 13 Juli 2008

Darmaga, adalah saksi bisu


Saat yang dinanti itupun tiba. Setelah bergelut dengan kertas dan tinta, dengan mesin ketik dan pitanya, saat itu tiba pula. Wisuda. Januari 1994 tepatnya.

Darmaga, demikian nama tempatnya. Saat itu, masih banyak pohon karet di sana-sini. Sesekali, kami ketemu dengan kalajengking yang tersesat mencari jalan pulang ke liangnya. Kami makan dengan selera besar, namun tanpa kantong yang besar isinya. Kawan-kawan yang berpeluh berjalan dari Bateng dan Bara. Sesekali menikmati kemewahan menikmati antrian di wartel menunggu giliran menelepon orangtua nun jauh di sana. Ritual malam minggu untuk mahasiswa miskin seperti saya.

Darmaga dengan kemewahan nasi goreng sude di pinggir jalan raya. Dengan ruang kuliah yang tak kalah panas menekan, ditambah bayang-bayang ujian yang seperti malaikat pencabut nyawa.

Dari bateng lalu berpindah ke bara. Anak-anak kost dengan hepatitisnya. Kesehatan mahal harganya, karena pada dasarnya kami tidak mengenal baik keberadaannya. Dengan segala keterbatasan. Darmaga adalah tempat dimana kemewahan bagi mahasiswa miskin seperti saya, adalah bisa cukup tidur nyenyak, disampung mesin ketik dengan kertas berisi laporan terserak.

Hingga, saat itu tiba. Graha Widya Wisuda, Januari 1994 tepatnya. Mata orangtua kami berkaca-kaca. Ayah dan ibu kami datang dari penjuru desa dengan dada membusung karena bangga, anaknya lulus dari sebuah kampus.

Kisah hidup yang satu telah selesai, maka menyusul kisah hidup yang baru.

Darmaga, adalah saksi bisu.

Tapi inilah hidup, semuanya harus diperjuangkan

Singkat saja, di bogor saya adalah sebatangkara. Hari pertama, saya lewatkan dalam sepi ditingkah derai hujan yang tiada hentinya. Dalam godaan perut lapar, adalah langkah cerdas berjalan kaki dari rumah kost di daerah babakan menuju deretan toko-toko di daerah otista, sekali lagi dalam basah hujan yang tiada hentinya, dalam dekapan dingin malam menjelang pukul delapan tepatnya.

Sebungkus roti tawar adalah obat yang paling membahagiakan untuk sebuah kenekatan karena ketidaktahuan akan arah timur dan barat daya.

Disambut ruang kuliah fisika yang angkuh dan tinggi, dengan bangku kayunya yang tua serta seliweran aneka legenda yang ditiupkan kakak-kakak pendahulu kami, disana saya memulai segalanya. Mendapatkan jas praktikum dan buku warna biru muda, serta perintah membeli kalkulator yang rumit dan mahal harganya.

Kuliah dan ujian sabtu yang menekan. daftar nilai di papan dekat jendela kaca. Nilai D adalah dosa kami terbayang wajah orangtua, dan nilai A adalah derai tawa lepas menuju kantin di bawah pohon beringin besar sana.

Tapi inilah hidup, semuanya harus diperjuangkan.



Pagi itu, saya ingat biasa-biasa saja, seperti pagi kemarin dan kemarin lusa. Ibu Marmi –itu nama wali kelas saya di kelas tiga fisika – menyodorkan surat, yang rupanya menjadi salah satu penentu masa dewasa saya. Diterima di IPB, tanpa ada test apa-apa. Sebuah berita besar rupanya.

Maka, di medio 1989 yang panas seperti biasa, setelah perpisahan yang seih namun biasa-biasa saja dengan segenap kerabat di tengah lapangan simpang lima, aku tinggalkan kota tercinta menuju Bogor yang aku tak tahu apa-apa tentangnya. Di belakang sana, di kota tercinta yang selalu panas menekan karena angin lautnya, aku tinggalkan teman dan sahabat, keluarga dan kerabat.

Sebuah hidup baru telah dimulai.

Kupandang wajah ibu dengan matanya yang berkaca-kaca, adik-adikku yang masih kelihatan tak percaya. Dalam bimbingan ayah tercinta –yang kini sudah tiada –, dengan angkutan travel yang membawa kami ke barat, berangkatlah saya ke Bogor-kota yang turun hujan tiap hari kabarnya.

Dia Lafuneste, Dia Saya ...


Saya mengenal dia sepanjang hidupnya, hingga kini. Dia Lafuneste, dan itu saya. Mengapa Lafuneste, sebenarnya tak jelas benar asal muasalnya.

Dia bermula dari sebuah nama fiktif untuk bergaya ala anak SMA. Dari sebuah SMA di pinggir kota Semarang, nama itu awal lahirnya. Ditorehkan oleh saya, setiap senin di majalah dinding di seberang ruang guru dalam kotak berbingkai kaca. Ditorehkan dengan pena bertinta hitam buatan jerman, setiap minggu sepanjang tahun.

Darinya mengalir banyak cerita, banyak angan yang diterbangkan angin dari barat dan utara, ditingkah bau anyir Kali Banger di depan sana.


Dalam Lafuneste, aku mengenang masa-masa tanpa dosa. Dalam Lafuneste, aku mengenang kegembiraan masa remaja dan kenakalan anak menjelang dewasa. Maka itulah Lafuneste. Darinya mengalir banyak sekali cerita.

Darinya aku mencatat pelajaran pertama membawa motor ke sekolah, dan menjatuhkannya di depan pasar selepas serempetan dengan sebuah angkutan kota. Darinya aku mencatat kebehohan kampanye yang disebut pesta nun jauh di pucuk barat kota. Dan darinya aku mencatat segala polah yang anak muda suka untuk menarik lawan jenisnya.

Lafuneste, dia nama yang menyimpan banyak cerita. Bahkan sampai aku menjadikannya beranjak dewasa dan akhirnya tua.