Jumat, 12 September 2008

Koran Jablay (Postingan lama)

Saya juga tadinya tak mengerti kenapa nama-nama Koran yang lumayan ngetop di
ibukota ini diberi tambahan predikat "jablay". Saya pikir tadinya ada
hubungannya dengan lagu yang ngetop dibawa oleh Titi Kamal di Mendadak
Dangdut. Ternyata bukan.

Istilah ini saya temukan dari tukang Koran yang setia mengantarkan
suratkabar langganan saya ke rumah, tiap pagi tak peduli hujan deras atau
angin kencang (maklum saya tinggal di bogor). Dia mengeluh karena
pelanggannya makin lama makin berkurang, bahkan Koran seperti Koran Tempo
dan Sindo dia sudah tak lagi memiliki pelanggan. Katanya (dengan geram),
"pelanggan saya dimakan Kompas jablay dan Sindo jablay"..

Sebuah kenyataan ironis, jaman semakin maju, teknologi penerbitan Koran
makin canggih, namun pengusaha gurem seperti tukang Koran makin lama makin
terdesak. Dia sudah kehilangan kejayaannya tergerus strategi para Koran
besar dalam memenangkan persaingan, sehingga munculah Koran Kompas atau
Sindo jablay alias dijual seribuan.

Patut diketahui bahwa strategi banting harga Koran-koran ini pernah
dipelopori oleh Jawa Pos (dan beberapa anggota grup-nya). Ketika Kompas
cetak di Surabaya dan berniat mematahkan dominasi Koran Nasional dari Timur
(Jawa Pos). Jawa Pos mensiasati dengan mengikat jaringannya (memakai
insentif, diskon dan kondisi spesial bagi agen eksklusifnya-terutama di
sektor langganan) serta menurunkan "Koran jablay" di eceran untuk menggebuk
pembaca non loyalis (di pasar eceran) agar membeli Jawa Pos ketimbang
nyoba-nyoba Kompas.

Strategi ini saya bisa pahami mengingat akar Jawa Pos di pelanggan kota
Surabaya sudah sedemikian kuatnya. Buat mereka dengan oplah (mungkin 300
ribuan di Surabaya, serta mungkin 85%-an pelanggan) membuang 10 ribu Koran
jablay untuk mengacak jalur eceran bisa jadi sangat efektif buat menghambat
pesaing , serta di sisi lain tak bakalan mempengaruhi penjualan secara
overall. Tapi jelas, pengecer goyang. Mereka lebih cenderung menjual jawa
Pos (yang sudah pasti laku) dengan harga 1000.resiko kecil untungnya sudah
kebayang; ketimbang menjual kompas (yang walaupun 100% konsinyasi) tapi
belum jelas prospeknya. Harus diakui Kompas cukup terpukul.sehingga merasa
perlu mempaketkan dengan Surya (grup-nya, Koran lokal terbit di Surabaya),
bahkan terpancing menjual dengan harga 1000-an juga di beberapa pom bensin.
Boleh dikata Jawa Pos cukup bisa membuat Kompas kalang kabut di Surabaya.


Kini Kompas mencoba melakukannya di Jakarta.

Kabarnya, ada sekitar 20ribu-an Kompas di-jablay-kan alias dijual harga
1000-an tiap harinya. Tentu dilihat dari sisi image, ini adalah langkah
yang cukup riskan.karena selain orang akan berpikir apa bedanya Kompas
dengan Warta Kota, juga pelanggan juga mungkin - sebagian-akan goyang
kesetiaannya. Berlangganan bulanan 60 ribu, beli eceran di perempatan rutin
Cuma 30ribu.

Tapi barangkali logika saya di atas dipakai juga oleh kompas, apalah artinya
20ribu eksemplar dibandingkan penjualan mereka yang 300-an ribu per hari di
Jabotabek. Pada kondisi ini, apalagi menilik strata ekonomi rata-rata
pembaca kompas-persoalan switching2 pelanggan ke pasar eceran sih sepertinya
kecil kemungkinan terjadi.

Saya menduga, langkah ini diambil Kompas untuk menjegal Sindo.

Tadinya, saya mengira sindo tetap bertahan dengan permainan mereka yang
cukup cantik di pasar eceran dengan harga 2000 plus 40 halaman (karena
kebetulan manager Sirkulasi-nya dulu eks dari Koran tempo-yang
notabene-sudah cukup pengalaman dijegal kompas sebelumnya), plus produk klas
menengah bawah (yang "by nature" memang besar). Dengan jalur distribusi
-yang menurut tim sirkulasi mereka - diambil dari layer kedua-nya jaringan
distribusi kompas, sudah bukan jadi rahasia sindo bisa tampil di jalanan.
Tapi rupanya, Sindo terpancing juga. Saya tak tahu apa yang terjadi di dalam
manajemen mereka, namun nampaknya langkah mereka mengikuti kompas dengan
menjual sindo edisi jablay cukup disesalkan (paling tidak oleh tukang Koran
langganan saya).

Secara fundamental, pelanggan sindo belum cukup kokoh. Kebanyakan masih
dalam tahap coba-coba, pertumbuhan pelanggannya kelihatannya juga masih
payah (lagi-lagi, paling tidak itu pengakuan tukang Koran langganan saya),
mereka masih mengandalkan penggarapan pelanggan dengan pola "jaman
majapahit" : door to door dan memberi gimmick-gimmick kuno seperti payung
dan janji2 manis datang tak terlambat dll. Dari sisi ini Sindo nyaris tak
ada inovasi. Maka, langkah mengikuti menjual 1000-an -saya duga-karena
mereka sudah pusing dan terpancing oleh strategi kompas. Kasusnya hampir
mirip dengan kompas di Surabaya.

Mestinya Sindo banyak belajar -selain dari kasus kompas di Surabaya - juga
dari kasus Koran tempo. Saat akan terbit, dengan confidence level 1000%
bisa mengalahkan kompas - dulu - Koran tempo mencoba men-drive pasar.
Bayangkan, launching pertama kali harga jual Koran diposisikan sama dengan
kompas. Harga iklan juga demikian adanya. Tapi, dukungan produk dan
-terutama percetakan - yang payah, ditambah lagi sengatan kompas di jaringan
distribusi membuat manajemennya berkali-kali gamang dengan mengubah strategi
dalam jangka sangat pendek. Belum lagi ada kelihatan efek dari satu
policy-barangkali karena juga terpancing competitor, selain karena factor
confidence level tadi - sudah ganti policy lain.alhasil jaringan distribusi
bingung setengah mati. Makin lama, Koran tempo makin tak kelihatan.bukan
apa-apa, agen-agen mulai tak percaya, pembeli juga bingung (bingung
mencari, dan bingung saat membeli karena harga berganti-ganti). Kini, Koran
tempo menjadi Koran yang aneh (karena kecil, walaupun itu menjadi gampang
dibaca di KRL yang sesak) dengan alasan trend jaman (padahal lebih untuk
efisiensi).juga kini tak punya banyak pelanggan karena agen-agen langganan
tak bisa bersaing dengan koran tempo jablay. posisi yang sulit barangkali
dihadapi oleh Tempo. Dengan positioning dimiripkan majalahnya (yang high
class, sophisticated, top over the top), sungguh terbanting kondisi koran
tempo dibanding kondisi riilnya.harga dijual 1000, dijual di KRL dan bis
ekonomi, pengiklan bertanya-tanya (ini Koran masih ada gak ya..?).distribusi
yang sangat terbatas hanya di jabotabek saja (karena masih cetak di
Jakarta). Ditambah lagi, di dalam mereka sudah mulai terserang sindrom
pabrik gula.

Ini pelajaran penting buat sindo mestinya.

Tapi apapun, jablay-jablay ini selain merugikan penerbitnya (karena
subsidi mereka makin besar), juga makin mendesak kehidupan bisnis adalah
para agen, loper dan pengecer. Menjadi agen Koran -rupanya-bukan lagi
sebuah usaha yang prospeknya cerah dan menguntungkan; apalagi dengan kondisi
penerbit yang mulai abai kepada jaringannya dan sibuk dengan subsidi yang
makin besar, pengiklan yang makin kritis dan strategi yang maju kena mundur
kena.

Tapi juga, barangkali saya yang tertinggal arus kereta jaman .

Bogor, 12 November 2007



Basri Adhi

Veteran Tukang Koran