Jumat, 09 Maret 2012

Siti si Penjual Bakso


Sambil menyeruput kopi di sore-sore yang hujan ini, anda masih merasa beban hidup anda saat ini berat sekali. Pusing memikirkan hutang atau dompet yang tipis terus tak kunjung tebal, maka ada baiknya anda baca kisah nyata ini. Kisah Siti, gadis kecil penjual bakso. Saya temukan kisah ini di TV dan tebaran beritanya di internet, sebuah kisah nyata yang menyentuh.
-----------------------------

Namanya Siti, usianya baru beranjak 7 tahun. Dia bukan anak metropolis yang beruntung, tinggal di sebuah desa di banten, bersama ibunya-karena sang Ayah telah tiada.

Sepulang sekolah, tak seperti anak sebayanya yang bisa bermain dan bergembira, dia bergegas pergi ke tetangganya yang punya usaha menjual bakso. Dia ikut menjual bakso. Tentu karena tangan kecilnya tak kuat mendorong gerobak bakso, dia menjual bakso dengan caranya sendiri. Kuah bakso dia masukkan dalam termos nasi, bakso dan mangkok dia tenteng di tangan satu lagi dalam sebuah ember bertutupkan serbet lusuh. Berat? tentu, apalagi untuk ukuran tangan kecila anak usia 7 tahun. Dijalaninya siang yang panas selepas sekolah menawarkan bakso, terseok-seok. Bila bakso laku semua, maka dia akan mendapatkan 2 lembar uang seribuan dari sang "juragan", tapi bila tak laku hanya selembar ribuan yang dia terima.

Sore itu, sesampai rumah -atau lebih tepatnya gubuk- seperti biasa, tak dijumpainya emak yang belum pulang dari menjadi buruh tani di kampung sebelah. Sambil menahan lapar, sesuai nasihat ibunya, dihampiri tetangga untuk minta ijin mengambil kangkung yang tumbuh liar di empang. Setelah mendapat ijin, Siti kecil terjun ke empang dan mengambil barang dua tiga potong kangkung yang akan dimasak emaknya untuk lauk malam ini : bersama nasi yang tak sampai separuh piring untuk berdua.

" ya Allah, berilah kesehatan pada Siti, supaya Siti bisa sekolah dan membantu emak. Berilah kesehatan pada Emak, karena hanya Emak teman Siti satu-satunya". Itu doa Siti kecil tiap hari.

Lalu, patutlah kita bertanya pada diri kita sendiri hari ini. Apakah beban kita seberat yang dipikul Siti dan Emaknya. Betapa kita sangat beruntung bisa membuat anak-anak kita tetap bersekolah, memakai baju seragam dan bermain tertawa selepas dari sekolah. tak cukupkah kita harus bersyukur, walau naik metromini ke kantor kita masih bisa membayar ongkos, bertemu teman yang kadang masih sudi mentraktir kita.

Syukur letaknya bukan di dompet, dia ada di hati kita.

Selasa, 06 Maret 2012

Selamat Ulang Tahun TEMPO


Melemparkan ingatan awal tahun 1999, ketika TEMPO terbit kembali. Buat saya, kenangan khusus ketika TEMPO terbit kembali : musibah sekaligus berkah.

Di pertengahan 1998, saat politik sedang bergolak panas, saya menerima tawaran untuk bergabung di majalah D&R. Majalah yang dikelola para "klandestin", pejuang bawah tanah eks majalah TEMPO yang dibredel tahun 1994. Ini adalah media perlawanan, berkali-kali kantor disatronin intel untuk mengintip isi majalah yang akan terbit. Tapi majalah ini hidup segan, mati tak mau. Pembacanya hanya aktivis, yang mayoritas terkenal cekak dompetnya. Saking susahnya, hingga pak Dahlan Iskan mengulurkan bantuan, lewat tangan kanannya : pak Margiono. Singkatnya, tiba suatu masa, majalah ini membuat heboh dengan edisi Cover Gambar Kartu King kepala Soeharto. Lumayan : saya, pak Margiono, mas Bambang Budjono, mas Edi RM diciduk mabes Polri dengan tuduhan super serius : MAKAR.

Tapi angin politik cepat berubah, reformasi menggulung tiran. Cukuplah semalam menginap di Mabes Polri. Hingga terbit kembalilah TEMPO.

Pada saat edisi perdana terbit kembali, TEMPO sudah sangat dinanti. Agen ngantri di percetakan menunggu majalah, sebagian besar sudah bayar di muka. Iklanpun tak kalah ngantri. Perjuangan membesarkan majalah TEMPO edisi terbit kembali tak sulit, karena nama besarnya. Di TEMPO, berseliweran nama-nama besar dunia jurnalistik Indonesia, para tokoh. Hingga tahun 2001 terbitlah Koran Tempo.

Nama besar majalahnya tak banyak menolong koran ini. Perjuangannya tak kalah sulit, apalagi Kompas, salah satu kompetitor menabuh genderang perang. Melarang agen-agennya mengedarkan koran tempo. Pasukan Sirkulasi dengan gigih menembus pasar, bergerilya hingga ke sudut gang untuk mencari agen yang mau mengedarkan. Oplah 140.000 per hari adalah prestasi saat itu.

Maka, di medan perang koran tempo lah kami belajar banyak bahwa mengelola koran itu sulit. tak hanya saya dan pasukan di sirkulasi, bahkan jajaran top manajemen juga memutar otak bagaimana agar koran ini tetap eksis dan selamat. tak jarang, kami kejeblos dalam banyak "jebakan betmen" kebijakan penjualan. Prediksi tak selalu cocok dengan kondisi di lapangan. Banyak kambing hitam, tapi koran itu masih tetap mencoba bertahan.

Hari ini, TEMPO merayakan ulang tahunnya ke 41. Sebuah perjalanan yang super panjang untuk sebuah majalah. Di foto syukuran yang dikirimkan teman-teman, saya melihat wajah-wajah lama teman-teman saya, tentu dengan uban yang makin lebat dan badan yang makin "berisi". Adakah TEMPO makin tua, mungkin tidak. Dia makin dewasa. teman-teman saya sudah merasakan getirnya diombang-ambingkan oplah, berjibaku dengan pendapatan dan berkejaran dengan tagihan.

Tapi TEMPO tetap fokus. banyak cita-cita mereka yang ingin diwujudkan, dengan tenaga yang makin menua. Mereka ingin media ini bertahan, di persaingan industri yang makin kejam. Kekuatan itu yang mustinya kita punya : kekuatan untuk FOKUS dan KONSISTEN.

Selamat Ulang tahun TEMPO, dari jalan Proklamasi, Gedung Jaya hingga Palmerah saya banyak belajar.