Kamis, 19 Maret 2009

Selamat Tinggal Surat Kabar “Seattle P-I”

Demikian judul sebuah berita di Kompas (19/03/09) halaman sepuluh. Harian ini – Seattle Post Intelligencer- sudah terbit selama 146 tahun, dan mulai selasa kemarin tutup untuk kemudian terbit dalam versi on line. Keputusan tutup, karena alasan managemen sudah tak kuat lagi bergulat melawan pendapatan iklan, sirkulasi yang makin turun. Pembaca dan pengiklan “lari” ke internet.

Ditambahkan lagi, laporan dari Pew Project for Excellence in Journalism menggambarkan industri surat kabar AS tengah mengalami “sangat dekat dengan terjun bebas”; dikarenakan pembaca dan pemasang iklan beralih ke internet.

Lalu, bagaimana kita di Indonesia?

Mau tak mau, suka tak suka; sejarah komersial industri surat kabar di Indonesia “mirip” dengan apa yang telah terjadi di Amerika. Bedanya, Amerika “duluan” ketimbang kita, jadi bagusnya, kita bisa belajar dan mengantispasi potensi bahaya. Bagaimana tidak? Era kejayaan koran sore di Amerika saat boom-nya revolusi kerah biru, yang kemudian keok dan mati suri saat lahirnya generasi kerah putih mirip sekali dengan kejadian kita di Indonesia.

Tapi, apakah koran-koran kita akan ambruk karena pembaca dan pengiklan boyongan mengkonsumsi internet? Saya rasa tidak.

Tantangan media cetak (khususnya koran) kita saat ini belum lagi sampai ke sana. Banyak koran baru datang dan pergi, terbit sekali lantas mati. Sejauh yang saya amati, dan saya tahu : kira-kira penyebabnya :

1. Secara umum, kebanyakan investor atau orang yang memodali koran bertemu dengan wartawan atau orang-orang dengan latar belakang redaksi, tentu saja factor akses sangat mempengaruhi hal ini. Repotnya, tak banyak wartawan yang benar-benar tahu soal seluk beluk teknis manajemen media, menguasai soal rimba periklanan apalagi dunia antah berantah bernama sirkulasi. Akhirnya, semua perencanaan diserahkan pada kata berjudul Asumsi. Selain itu stok orang yang mengerti benar soal manajemen –terutama hal pemasaran – media cetak tak banyak. Akibatnya, semua menjadi salah perhitungan; bisnis koran yang seharusnya marathon digeber dengan gaya sprint. Walhasil kehabisan napas di tengah lintasan.
2. Tidak ada sekolah untuk tenaga pemasaran dan manajemen untuk koran. Bisnis ini sangat spesifik. Bayangkan, kita harus menjual produk yang umur pakainya kurang dari 3 jam, setiap hari ada produk baru, susah dijual di took atau jaringan title umumnya, sehingga harus langsung dijual di jalan : aatau diantar ke rumah. Makanya, banyak investor atau eksekutif yang baru terjun di dunia ini tergagap-gagap. Sudah begitu-buat sebagian besar rakyat di negeri kita - barang ini bukan barang kebutuhan primer. Alhasil, ketika musim anak sekolah, penjualan turun; ketika musim hujan, barang retur banyak….
3. Tataniaga sirkulasi koran yang sudah terlanjur carut marut. Dulu, ketika koran memang masih murah, menjadi agen koran adalah profesi yang menjanjikan. Keuntungan menjadi agen koran, sudah banyak memberangkatkan haji agen-agen, bahkan menyekolahkan anak-anak meraka (hingga keluar negeri, bahkan !) Kini saatnya barang-barang dijual mahal, koran jusru dibanting murah oleh para penerbit. Dilematis memang. Kalau dijual mahal, pembaca ogah beli, dijual murah agen dan pengecer kelimpungan.
Saat ini, sisi paling marginal dari bisnis koran adalah agen dan pengecer koran. Bayangkan, dulu seorang agen dengan menjual selembar koran bisa mendapatkan paling tidak keuntungan 100 rupiah. Pengecer bisa dapat lebih besar dari itu.
Tapi kini, mendapatkan 25 rupiahpun sulit. Artinya, sebenarnya resiko yang ditanggung agen sangat besar –apalagi ditambah kebijakan penerbit yang ketat- karena kelingan 1 koran seharga 500 perak, artinya keuntungan berjualan 20 koran akan lenyap seketika.
Itu kenapa, banyak agen terjerat hutang pada penerbit, boro-boro bisa membantu penerbit mengembangkan pasar, untuk memikirkan belitan hutang saja sudah pusing.
Tataniaga ini diperparah dengan banyaknya tenaga sirkulasi yang tidak memahami kondisi ini, strategi yang dibuat cenderung makin menghancurkan jaringan distribusi. Repotnya lagi, di sini banyak petualang yang melihat kondisi ini sebagai peluang untuk memperkaya diri sendiri dengan korupsi dan manipulasi.
Di sisi lain, jaringan keagenan makin tua, karena tak ada kaderissasi. Mengapa? Karena generasi penerus keagenan sudah tidak lagi tertarik dengan bisnis ini.

Belum lagi persoalan iklan. Banyak koran baru juga terjebak keinginan mendapatkan porsi besar kue iklan dari biro iklan. Mereka, biasanya, akan terjebak pada data Readership Nielsen dan belum tercantumnya koran mereka di situ. AE Iklan yang ada kurang jeli melihat peluang, karena koran baru, biasanya hanya berani menggaji AE baru yang notabene masih hijau di lapangan.

Maka terjadilah “Trickle Down Effect”. Ketika koran baru terbit, digeber layaknya lari sprint; baik di promo maupun cetak. Karena tak terdistribusi dengan baik (alias tak jeli memilih jaringan) maka koran tak terlihat dan pada akhirnya tak pernah laku. Karena koran tak terlihat, pengiklan meragukan eksistensi si koran. Walhasil modal makin tipis, cetak makin dikurangi, iklan makin seret. Akhir cerita : matilah itu koran.

Jadi, berbeda dengan Amerika : belumlah sampai soal pembaca yang lari, faktor internal koran itu sendiri yang masih sangat berperan, apakah akan bertahan atau mati. Koran anda sendiri bagaimana?

Senin, 09 Maret 2009

Gogon Kebakaran Jambul


Dalam casting grup legendaries SRIMULAT, dikenal seorang tokoh bernama Gogon. Kumisnya ala Charlie Chaplin, posturnya tipis, petentengan dan satu lagi ciri paling khas-nya jambul di kepalanya.

Jadi, saya bayangkan; bila di-pameo-kan orang gusar sebagai kebakaran jenggot, maka Gogon akan kebakaran jambul (karena tak punya jenggot).

Tulisan saya yang berjudul “Only The Good, Die Young” yang saya posting seminggu lalu : ternyata memancing banyak sekali komentar baik di milis maupun facebook (lokasi-lokasi saya mem-posting tulisan tersebut). Sebagian besar komentarnya setuju soal segala yang tertulis di dalamnya, terutama soal kepribadian almarhum yang akrab, baik hati dan jenaka.

Namun, empat hari lalu, seseorang yang memakai nama samaran Gogon Lebay, menuliskan kegusarannya pada saya –via japri- dan menembuskan e-mailnya tersebut kepada petinggi-petinggi harian Seputar Indonesia. Rupanya, ada Gogon gusar yang kebakaran jambul.

Dalam kegusarannya, Gogon menulis soal “kegilaan” saya, karena dianggapnya tulisan tersebut “mempolitisasi” orang yang sudah meninggal. Di akhir e-mailnya, Gogon mendamprat saya dengan sebutan Sakit Jiwa.

Dampratan Gogon soal sakit jiwa ini –walaupun tak 100% relevan-- selalu mengingatkan saya pada tiap sesi pertemuan, sesi mengajar di berbagai forum yang saya isi, tentang pertanyaan “mengapa memilih membuka usaha sendiri yang tidak pasti masa depannya, ketimbang bertahan sebagai General Manager dengan gaji dan fasiltas menawan”. Mereka menduga, saya kena sakit jiwa….sakit jiwa akut.

Barangkali indikasi Gogon ada benarnya. Tak sekedar sakit jiwa –di jaman serba krisis ini- saya adalah penderita sakit jiwa akut. Saya terobsesi pada kebebasan dan kemerdekaan : untuk berekspresi dan mengeksplorasi ide. Saya terobsesi untuk terus menegang urat avonturir dan menderas adrenalin untuk mencoba hal baru, dan kalau bisa yang tak biasa orang lain lakukan.

Tahun 2002, saya berangkat ke Desa Pesurungan Lor, tak jauh dari terminal kota Tegal (Jawa Tengah) untuk belajar soal beternak bebek. Hanya berbekal buku yang dibeli di Gramedia, dengan modal ilmu seadanya : saya memutuskan istirahat dari kerja kantoran membanting setir jadi peternak bebek. Tiap pagi, bergelut dengan kotoran 600 ekor bebek, tiga kali sehari mengaduk dedak, konsentrat dan vitamin serta tiap sore mengantar telor ke tukang jamu dan tukang martabak langganan. Hasil dari membuka usaha, dengan hanya berbekal kemauan, kerja keras tapi pengetahuan yang sangat kurang adalah : Gagal Total.

Tak usah meratap, demikian kata buku La Tahzan. Kegagalan beternak bebek, walau getir tak pantas diratapi. Sambil bekerja lagi di sebuah koran local milik grup Kompas, dirintislah usaha jasa distribusi dan iklan. Pelajaran nomor dua : bisnis dengan pengetahuan yang cukup, modal yang cukup namun tanpa pengawasan serta keterlibatan maksimal juga berakibat : Gagal Total.

Akhir tahun 2004, paska lebaran, Seputar Indonesia (SINDO) memanggil. Lagi-lagi dimulai usaha baru, sambil bekerja : menjadi distributor produk air kelapa olahan (Nata de Coco). Jangkauan wilayahnya cukup lumayan : Jawa Barat dan Banten. Namun, satu hal lagi pelajaran didapat. Usaha dengan pengetahuan cukup, modal cukup, pengawasan cukup ; tapi tanpa manajemen keuangan yang baik mempercepat bisnis kolaps alias gagal total.

Hingga akhirnya, tahun 2006. Adanya pergeseran visi di perusahaan tempat bekerja, serta didorong keinginan untuk menjadi manusia yang merdeka : maka diambillah langkah yang biasa diidap para manusia penderita “sakit jiwa akut” : keluar kerja, meninggalkan jabatan beserta segala fasilitasnya , untuk menegakkan sebuah mimpi menjadi manusia burger. Di tahun itu saya resmi menjadi penjual burger.

Tahun telah lama berganti. Segala kegilaan, segala jatuh bangun kini hampir terbayar. Saya, tak akan pelit berbagi apapun ilmu kepada anda, karena pada dasarnya yang saya bagikan adalah bagian yang disebut “sakit jiwa akut” tadi. Saya mengembangkan usaha ini, berbagi kesempatan bermitra dengan anda : dengan kondisi yang anda bisa lakukan dengan cara termudah serta biaya termurah. Anda tak perlu lagi memulainya dari angka 0 untuk menuju skor 10. Saya akan tularkan dengan segera ke-“sakit jiwa”-an tadi, supaya anda bisa juga menjadi pribadi sukses. Karena katanya, sukses itu hak setiap orang, bukan monopoli oknum tertentu di dunia ini.

Jadi, kalau Gogon - yang sudah kehabisan order manggung- ini bilang: saya sakit jiwa…wah, saya harus ralat : saya ini penderita sakit jiwa akut. Obsesi dalam otak untuk membuat usaha saya bisa membantu banyak orang sukses sangat menggila, sangat memeras adrenalin dan menegang urat adrenalin.

Perlu sedikit kegilaan untuk bisa sukses : demikian kata para senior dalam buku-buku mereka. Tinggalkan kebiasaan menjadi pribadi yang berfikir biasa-biasa, pribadi yang gagal, pribadi penuh kritik tanpa solusi dan tanpa resolusi.

Maka-akhirul kata- semoga anda juga sukses.

Selasa, 03 Maret 2009

Only The Good Die Young (In Memoriam ARIS AHMADI)

Sejauh yang saya tahu, namanya Ahmadi. Tapi semua teman-temannya memanggilnya Aris. Perawakannya yang tinggi besar, seringkali, menakutkan bagi orang yang pertama kali mengenalnya.

Saya mengenalnya 15 tahun lalu, di Republika. Seperti juga orang yang pertama kali mengenalnya, saya juga rada takut melihat penampilan luarnya. Namun, tak perlu waktu lama untuk tahu bahwa : Aris yang teman yang jenaka dan setia.

Selama empat tahun kami menjadi rekan sekerja. Banyak hal yang saya ingat soal dia. Aris seorang pekerja keras, dulu dia adalah penjaga gawang Administrasi Sirkulasi di Republika (bersama temen karibnya : Mas Uyanto atau mas UY kami biasa sapa). Ratusan nomor registrasi agen dihapalnya luar kepala, itu yang membuat kami kagum kepadanya.

Karena tinggal di Bojonggede-yang kebetulan sejalur dengan saya- tak jarang kami berada di kereta yang sama saat berangkat kerja. Kebiasaan kami sama, datang pagi-pagi karena takut terlambat karena ketinggalan kereta dan pulang tepat waktu, supaya bisa naik kereta yang sama: kereta yang berangkat 17.46 dari Stasiun Pasar Minggu Jakarta. Perawakannya yang besar cukup membantu saya menaklukan desakan para penumpang lainnya. Setiap sore sepanjang empat tahun lamanya, kami bersama berlari keluar dari basement Republika, mengejar angkot yang sama menuju Stasiun Pasar Minggu untuk kemudian bermandi peluh dalam kereta.

Tahun 1998, kami mengambil persimpangan yang berbeda. Saya keluar dari Republika dan Aris masih setia didalamnya. Hingga tahun 2004, kami dipertemukan kembali dalam di sebuah persimpangan yang sama. Seputar Indonesia.

Aris di Seputar Indonesia, tidak serta merta menjadi Aris yang berbeda. Ketekunan, kepolosan dan kesetiannnya masih ada, tak hilang dibilas waktu.
Di Seputar Indonesia, kami berada di lokasi kerja yang sama, namun dalam posisi yang sudah berbeda. Tapi bagaimanapun kami adalah teman lama.

Perjuangan di Seputar Indonesia, adalah perang di lapangan yang pertama baginya. Jaringan distribusi yang dibinanya (wilayah Bogor) di tekan habis oleh KOMPAS (yang dimotori oleh Manager Sirkulasinya : Sugeng Hari S beserta bala kurawanya). Aris, kadang masih tergagap menghadapi itu semua. Maklum, ini adalah perang pertamanya. Kami, temen-temennya tak henti selalu mendukung dan mendorongnya, untuk terus maju-bersama- memenangkan peperangan.

Dengan “bambu runcing” seadanya kami berperang melawan kedzaliman ideology KOMPAS – yang direpresentasi oleh tim sirkulasinya- yang melarang agennya menjual SEPUTAR INDONESIA. Tak Cuma kami, agen-agen juga diam-diam mendukung kami. Aris berada di dalam tim kami, semangatnya tak putus tak henti.

Jaman terus bergulir, waktu terus berjalan. Kembali, kami mengambil persimpangan yang berbeda. Tim Kompas yang dulu menjegal kami saat memperjuangkan SINDO –karena tak lagi dipakai lagi di sana – berbalik masuk ke SINDO; dan menjadi atasan langsung Aris. Jaman menjadi serba paradoks. Sebagian besar pasukan militan yang sempat menjadi teman-teman Aris memutuskan keluar dari Komando peperangan karena tak mau dipimpin oleh tim yang dulu menjegal mereka. Namun, Aris dengan segala pertimbangannya, memilih untuk tetap tinggal di dalam.

Kami hormat dan respek atas segala keputusan yang telah diambilnya. Walau sudah berada di beda persimpangan, kami tetap teman bagaimanapun juga. Tapi itu awal yang berat baginya.

Dua kali sejak kami tak lagi sering bersua, Aris kambuh penyakit jantung yang telah lama diidapnya. Dua kali pula, Aris sampai harus menjalani perawatan di Rumah Sakit. Beberapa kali saya mendengar keluh kesahnya. Dari soal pekerjaan yang makin lama menghimpitnya, atasan-atasan yang tak tahu harus berbuat apa untuk membantunya, hingga rasa ditinggalkan oleh temen-temen lama.

Padahal kami tak meninggalkannya. Berupaya untuk bisa hidup di kerasnya Jakarta, kadang membuat kami abai untuk bertegur sapa.

Hingga kemarin-Senin 2 Maret 2008, saya mendengar kabar, Aris teman baik saya, Aris yang polos, baik hati, setia kawan dan jenaka telah pergi meninggalkan kami selamanya. Penyakit jantung yang diidapnya kambuh, dia meninggal di pelukan mbak Evi-istri tercintanya. Usainya belum lagi 41 tahun saat meninggalnya.

Aris, kami tak akan bisa lupa. Mulai saat ini dan besok -dalam setiap kesempatan dan perjuangan, akan kami jadikan engkau monumen dan teladan bagi kita semua. Perjuanganmu yang belum selesai akan kami lanjutkan. Maafkan kami -teman-teman lamamu- yang mungkin telah abai. Kami adalah teman-teman lama, dan akan tetap menjadi teman dalam doa. Karena kami, sesungguhnya tak punya apa-apa.