Rabu, 18 April 2012

Kisah paling Nyata, Ada di Dekat Anda ...


Tadi pagi, seperti biasa, sambil menyeduh kopi saya sempatkan membaca beberapa kabar dari teman di situs jejaring sosial. Sebuah kisah tentang seorang tua penjual amplop di depan msjid Salman ITB menyeruak. Di zaman amplop menjadi komoditi yang terpinggirkan, beliau tetap setia menjualnya. Di zaman yang yang makin serakah dan tak punya hati nurani, beliau hanya setia pada keuntungan Rp 25,- per lembar amplop yang dijualnya. yang bahkan, bila amplopnya laku 100 lembar, keuntungannya tak cukup untuk membeli sebungkus nasi dari warteg.

Tapi kisah itu jauh, saya tak mengenal si Pak Tua, saya jarang lewat Masjid Salman, karena saya tinggal di Bogor. Dan, di dekat saya ada kisah serupa, saya temukan di kantor tempat saya "bantu-bantu" bikin kopi dan teh.

Ada pak Saman-sebut saja begitu. sudah 18 tahun bekerja di kantor ini. Sejak kantor ini belum ada kursi katanya. Tugasnya dulu membagi-bagikan koran promosi, hingga kini setelah 18 tahun posisinya tetap -kurang lebih- sama. Di antara pasang surut kantor ini, ketika tiba saat tak bergaji, dia berkeliling sepanjang kebayoran lama : menjajakan bubur ayam. Sang istri, tak jauh beda : hingga kini tekun menjual gorengan dan makanan kecil di sebuah SMP di kebayoran lama. Perjuangan yang luar biasa. Pak Saman tak mengeluh, dan bercerita bangga tentang anak-anaknya yang telah "mentas" dan bekerja semua. Sang anak pertama, kebanggan keluarga, kini sudah enam tahun ada di Papua, bekerja dan beranak pinak di sana. Cita-cita pak Saman dan sang istri : ingin segera bertemu sang anak dan menantu di Papua.

Lalu ada mas Basuki. Saya sebenarnya mengenalnya sudah lama, dari tahun 1995 kami sudah pernah bekerja bersama-sama. Penguasaannya di lapangan, membuatnya koran yang saya bantu ini masuk dengan mulus di lapangan. Tapi, mas Basuki masih belum bisa menikmati hasilnya. Setiap hari, dia bergantian dengan istrinya "mengojek". pagi dan Sore hari, saat anak-anak tetangga memerlukan ojek untuk berangkat dan pulang sekolah, sang istrilah yang bekerja. Sang istri membawa motor, mengantar jemput anak-anak tersebut. Tunggu dulu, sebelum itu, sejak lepas subuh, mereka berdua bahu-membahu membuat susu kedelai yang dijual pada tetangga dan kantin skolah anak mereka. Malam hari, selepas kerja di kantor, mas Basuki yang turun "beroperasi". Di daerah bekasi timur dia mangkal di pangkalan ojek, kadang hingga dini hari menunggu penumpang. Jangan bayangkan sabtu dan minggu mereka bisa piknik atau berbelanja. Itu semua mereka lakukan demi dua nak mereka yang mulai beranjak remaja. Tahun ini, si sulung akan masuk sebuah sekolah dengan sistem ikatan dinas di kota Bogor. Cita-cita harus setinggi langit.

pak Saman dan mas basuki adalah para pejuang sejati. Di saat tekanan hidup semakin keras, mereka tak memilih menyerah, mereka "melawan" dengan kerja ekstra keras dan usaha yang pantang berhenti. Mereka tak mau korupsi, atau manipulasi. Cita-cita mereka besar untuk anak-anak mereka.

Maka, sebagaimana pak Tua penjual amplop di depan masjid Salman ITB, patutlah saya salut pada mereka, perjuangan mereka mengisnpirasi saya.

Kamis, 12 April 2012

Memilih jalan yang sulit


Manusia tempatnya kekeliruan, tapi belajar untuk memperkacil kekeliruan juga sebuah keharusan. Kadang, sudah disediakan rezeki jalan yang mudah, tapi kita menutup mata : dan memilih jalan yang sulit.

Saya buka cerita saya.

Sudah kurang lebih enam bulan ini, disamping mengelola kedai kopi (www.misterblek.co.cc) , saya membantu penerbitan sebuah Harian /Koran. Ya-terus terang- itu hobby saya : bikin koran (nggak pake modal). Biasanya kalau koran itu sudah jalan, sudah mulai banyak terjadi "perebutan pengaruh dan kekuasaan" itu tandanya saya harus hengkang. Mengambil pilihan hidup lain yang lebih indah.

Sebagaimana ketika membangun Republika, majalah dan koran Tempo, koran Sindo : tahapannya mulai dilakukan. Karena dunia koran adalah dunia penuh labirin, atau kata para generasi Alay, penuh jebakan betmen : ada kala manajemen kejeblos-kejeblos sedikit. Nggak apa, ini kan yang bikin seru?

Tapi, untunglah, pengalaman sebagai kutu loncat pindah sana-nemplok sini, membuat rasa kaget-kagetan atau gampang heran-heranan sudah ogah nempel lagi. Di awalnya semua dibangun dengan mulus, malah dalam waktu 4 bulan koran ini sudah mencapai jumlah peredaran yang lumayan mencengangkan, sales juga nggak jelek-jelek amat untuk ukuran koran yang "tidak diapa-apain"; tidak ada program penjualan, tidak ada promosi tidak ada hingar-bingar. Kata senior saya di Tempo, mas Wahyu Muryadi : Ngglundhung Semprong.

Masalah yang dihadapi di lapangan sangat generik, standar dan memang tidak ada hal baru (barangkali itu juga yang bikin saya cepet bosan bertahan di satu koran, dan pengennya pindah ke koran lain : selain karena iming2 gaji lebih gede). Dan hal lain yang generik, adalah pusingnya manajemen menghadapi harga cetak yang boncos tiap hari bayar, dan tingkat retur yang belum bisa mengimbangi penjualan. Tapi, namanya juga koran baru, harusnya memang ini jalan yang musti dilalui. Kata suhu saya : No Shortcut, Just Acceleration.

Dan dalam situasi seperti ini, entah kenapa, selalu ada saja muncul pendekar kesiangan. Merasa dengan "analisa di belakang meja" semua masalah bisa mereka selesaikan; padahal pengetahuan masih cekak. Dengan jurus "jilat-jilat sedikit" maka dimulailah manuver dari mulai "sidak" sampai laporan"asbun".

Biasanya, dari apa yang sudah terjadi sudah-sudah, ini justru awal kehancurannya. Karena pengetahuan yang kurang, analisa yang dangkal, keputusan yang diambil keliru. Mau untung malah buntung. Kena jebakan betmen, kata anak alay.

Yang saya heran, apa sulitnya saling percaya. Kalau saling percaya, jalan yang terbentang akan mudah. Mosok sih saya segitu "gendheng"-nya mau njeblosin tempat saya dimintain bantuan. Secara akal sehat, dengan segala jungkir balik di masa lalu, nggak mungkinlah saya mau gegabah bikin strategi. Keledai aja nggak mau kejeblos dua kali di lobang yang sama. Karena ini soal reputasi, saya musti mikir : eh, siapa tahu kalau koran ini sukses, saya bisa ngegarap koran lain supaya sukses juga. Jualan saya kan reputasi.

Jadi, mereka memilih jalan yang sulit. "Sidak" nggak pakai strategi, "Turba" tapi nggak jelas apa yang dicari. Alhasil yang didapat hanya kulit ari masalah, dan pasti...pasti... keputusan yang diambil juga akan salah. Sulit bener.

Tapi, biarlah, itu kan soal pilihan. Kalau kita mengelola koran, kalau koran kita sudah dibawa pengecer dan tak ada yang "didudukin" atau "ditimbun" agen, maka pekerjaan kita tinggal ringan, geber sales-nya : perbaikan produk, jangan datang telat dan sediain bujet buat bikin program penjualan. Bukan ngurusin monopoli oplahnya, karena bukan itu akar persoalannya.

Justru lupa, bahwa hajat hidup koran itu di iklan, itu yang musti dipelototi dan digenjot. Rame-rame jualan. Tapi, karena cari iklan sulit, maka dia menjadi tak sexy. Resikonya terlalu besar untuk jadi bedak dan pupur cari muka.

Sekali lagi, itu soal pilihan. Sambil siul-siul saya balik lagi nyeruput kopi : Nggak Ngopi, Nggak Trendy.