Sabtu, 13 Februari 2010

Pak ASEP : Di Kedai Kopi Tubruk , dekat stasiun kereta


Saya belum pernah ketemu dengan dia sebelumnya. Biasanya, setiap kali saya nongkrong menunggu kereta di stasiun Dukuh Atas (sekarang namanya stasiun Sudirman), hanya istri dan Hendra –anak laki-lakinya- yang setia menjerang air dan menyeduh kopi tubruk pesanan saya.

Dari kerut-merut kulit di wajahnya, saya taksir usianya tak kurang hampir sepuluh windu panjangnya. Saat itulah dia mulai panjang bercerita-seolah kami berteman lama- bahwa dia – pak Asep yang renta ini – sudah tiga dasawarsa mencoba menaklukan ibukota.

Masa kecil, dilaluinya di lereng sebuah gunung di Tasikmalaya, perlu waktu 3 jam untuk turun ke pasar Singaparna. Dua kali seminggu, lepas pukul dua malam, dia berjalan kaki bersama ayah tercinta menuju pasar untuk berbelanja. Dikisahkannya, sepanjang jalan ayahnya banyak bercerita, berdialog dan menembang beberapa lagu sunda untuk mengisi suasana. Banyak kisah diceritakan, disela peluh yang membasah karena perjalanan yang panjang ke bawah.

Ketika itu-katanya-jaman hidup dengan damainya. Setiap maghrib surau penuh dengan manusia, sholat berjamaah, lalu mengaji bersama. Tak tua, tak muda. Jaman itu, tak ada yang punya mobil atau kereta. Harta paling mewah hanya sapi atau kerbau kandang, dan deretan sawah di ujung-ujung desa.
Panen hanya dua kali dalam setahun; dan setiap kali panen ada cukup simpanan beras untuk panen berikutnya. Tak perlu pupuk, tak perlu pestisida. Orang-orang sehat mencapai umur tertuanya, hingga ada yang berumur seratus tahun, katanya. Anak-anak berangkat pagi ke sekolah dengan riang, bertelanjang kaki melewati ratusan petak sawah gembira. Hidup tak ada yang menderita.

Kini jaman sudah berubah. Dengan keringat yang diperas, panen padi setahun bisa tiga kali. Tapi heran, tak cukup beras untuk disimpan hingga menjelang panen berikutnya. Pupuk, pestisida makin mahal, dan kebutuhannya melonjak luar biasa. Mengadu nasib di ibukota, tak lagi jauh beda. Dulu, dua dasawarsa lalu, bekerja satu hari bisa untuk makan tiga hari. Tapi kini kebalikannya, memeras peluh tiga hari, hanya cukup untuk hidup satu hari saja.

Di kampung, orang sudah bermobil dan bersepeda yang ada motornya. Rumah sudah bertembok, tak ada lagi atap rumbia. Tapi, maghrib surau dan masjid sepi, karena anak-anak sedang “sibuk mengaji” di depan tivi, menatapi film dan sinetron masa kini.
Anak-anak cepat tumbuh dewasa, tapi orang dewasa lebih cepat mati. Tak ada lagi, kakek atau nenek yang berusia hingga satu abad. Di ruangan tengah rumah bertembok tak ada lagi gurau, canda dan interaksi sanak sebagaimana dulu. Semua orang pergi ke kota, sibuk bekerja. Untunglah masih ada hari Lebaran.
Tekanan jaman, membuat desa pak Asep –katakan begitu namanya- juga dilanda penyakit kota bernama stress dan depresi. Anak-anak kehilangan hormat pada orangtua, anak-anak tertekan oleh lingkungannya. Kabar miris –kisah pak Asep selanjutnya – seorang anak mati bunuh diri karena takut tak lulus ujian negara.

Maka, dari bawah kolong jembatan dekat stasiun Dukuh Atas ini pak Asep –sebut saja begitu namanya – ingin kembali bernostalgia. Memiliki pemimpin yang peduli pada rakyatnya, pemimpin yang bisa menurunkan harga minyak dan beras untuknya, pemimpin yang tak hanya baik saat kampanye dan menjelang pemilu saja.

Dalam perjalanan di dalam kereta ber-AC setelah berpisah dengan pak Asep yang renta, berfikirlah saya yang masih beruntung bisa membeli mie instan buat anak-anak saya, membelikan seragam sekolah dan mainan untuk mereka. Hidup buat pak Asep, dan Pak Asep-Pak Asep lainnya memang sulit kita duga kedalamnya. Kita Cuma bisa bersyukur sambil menduga-duga. (Ditulis di Bogor, 29 April 2009)

Jumat, 12 Februari 2010

Puisi di Malam yang Tua


Dari pelataran taman kencana, yang dulu banyak bancinya
Di temaram jalan raya pajajaran yang sudah sesak dengan toko sedemikian rupa
Dalam pojok warung jambu, dengan gadis-gadis kecil menunggu pelanggan
Sudah kita lewati bersama

Memerdekakan diri dari pelajaran kimia fisika
Melewati mata ujian biokimia dan sebagainya
Mengetahui dunia dari perpustakaan yang suram kehabisan koleksinya
Telah kita lalui bersama

Kini dunia nyata, inilah dunia para pejuang sesungguhnya
melewatkan umur dengan mengejar kereta
menghabiskan waktu di belakang layar komputer yang berpendar
Sudah ada di belakang kita

Kini, dalam seisik angin di teras belakang rumah kita
bersama derik jengkerik dan bunyi katak menjelang hujan
di malam yang makin tua
Kita tak akan tahu, seperti apa nanti hidup kita
Karena kita cuma bisa berusaha


Cimahpar-Bogor, 060210...tepat 00.30
Untuk orang-orang tercinta

Dia Bernama Barbara Padilla


Saya melihat penampilannya tadi malam di Indosiar. Siaran entah kapan, ajang penyisihan America's Got Talent. Saat itu dia belum menjadi siapa-siapa.

Namanya Barbara Padilla.

Penampilannya biasa, siapa yang mengira -belakangan- suaranya sopran-nya bakalan mengguncang dunia. Dia hanya ibu rumah tangga biasa, bahkan dalam caption perkenanlan dengan para dewan juri : hanya disebut seorang ibu rumah tangga yang bekerja di rumah.

Tapi, begitu musik dialunkan, suaranya sungguh luar biasa : kelas soprano kelas dunia.

Kontan, begitu selesai penampilannya : seluruh penonton, bahkan dewan juri memberikan "standing ovation" buat dia. Barbara Padilla.

Dia hanya ibu rumah tangga biasa. Dua mujizat yang baru saja diterimanya, tampil di ajang penyisihan dan lolos ke Las Vegas...serta baru saja sembuh dari penyakit kankernya. Dia lahir 1973 di Guadalajara Mexico. Bertahun menderita semacam kanker darah bernama Hodgkin's Lymphoma. Menjalani serangkaian terapi radiasi dan kemoterapi, membuatnya menerima vonis akan kehilangan pita suaranya.

Tapi dia tidak menyerah, ditemani mimpi-mimpi besarnya.

Hingga suatu ketika, saat dia berobat ke Houston dia mengikuti sebuah audisi di Moore's School of Music di Houston University , dia mendapat berkah : beasiwa penuh hingga tercapainya Gelar Master-nya. Itu semua saat dia berjuang melawan kanker yang dideritanya.

Dukungan suami dan putri empat tahunnya, sungguh menguatkannya.

Barbara Padilla telah memenagkan mimpinya, lagu milik Giacomo Puccini berjudul O Mio Babbino Caro" membawanya memenangkan mimpinya melaju ke Vegas, dan belakangan ikut mengantarkannya menjadi runner up kompetisi ini tahun 2009, setelah kalah suara dari Kevin Skinner, pelantun lagu country dari Kentucky.

Hal paling mengisnpirasi dari Barbara Padilla, adalah jawaban atas pertanyaan Sharon Ousborne, sang Dewan Juri saat ditanyakan bagaimana perasaannya setelah performanya diberi apresiasi luar biasa oleh para penonton di sana...

Dia hanya mengatakan,"Luar Biasa, saya hanya punya HARAPAN, dan HARAPAN itu yang menguatkan saya untuk terus bergerak dengan segala hambatan dan kendala saya".

Barbara Padilla, dengan suara sopran nya, terus mengejar harapannya mengalahkan segala rasa sakit dengan kekuatan mimpinya dan berharap bisa menjadi inspirasi bagi orang yang nanti akan mengenalnya.

Kekuatan mimpi dan harapan telah mengalahkan segala kendala. Satu lagi bukti nyata. Semoga menginspirasi.