Minggu, 13 Juli 2008


Pagi itu, saya ingat biasa-biasa saja, seperti pagi kemarin dan kemarin lusa. Ibu Marmi –itu nama wali kelas saya di kelas tiga fisika – menyodorkan surat, yang rupanya menjadi salah satu penentu masa dewasa saya. Diterima di IPB, tanpa ada test apa-apa. Sebuah berita besar rupanya.

Maka, di medio 1989 yang panas seperti biasa, setelah perpisahan yang seih namun biasa-biasa saja dengan segenap kerabat di tengah lapangan simpang lima, aku tinggalkan kota tercinta menuju Bogor yang aku tak tahu apa-apa tentangnya. Di belakang sana, di kota tercinta yang selalu panas menekan karena angin lautnya, aku tinggalkan teman dan sahabat, keluarga dan kerabat.

Sebuah hidup baru telah dimulai.

Kupandang wajah ibu dengan matanya yang berkaca-kaca, adik-adikku yang masih kelihatan tak percaya. Dalam bimbingan ayah tercinta –yang kini sudah tiada –, dengan angkutan travel yang membawa kami ke barat, berangkatlah saya ke Bogor-kota yang turun hujan tiap hari kabarnya.

Tidak ada komentar: