Minggu, 13 Juli 2008

Darmaga, adalah saksi bisu


Saat yang dinanti itupun tiba. Setelah bergelut dengan kertas dan tinta, dengan mesin ketik dan pitanya, saat itu tiba pula. Wisuda. Januari 1994 tepatnya.

Darmaga, demikian nama tempatnya. Saat itu, masih banyak pohon karet di sana-sini. Sesekali, kami ketemu dengan kalajengking yang tersesat mencari jalan pulang ke liangnya. Kami makan dengan selera besar, namun tanpa kantong yang besar isinya. Kawan-kawan yang berpeluh berjalan dari Bateng dan Bara. Sesekali menikmati kemewahan menikmati antrian di wartel menunggu giliran menelepon orangtua nun jauh di sana. Ritual malam minggu untuk mahasiswa miskin seperti saya.

Darmaga dengan kemewahan nasi goreng sude di pinggir jalan raya. Dengan ruang kuliah yang tak kalah panas menekan, ditambah bayang-bayang ujian yang seperti malaikat pencabut nyawa.

Dari bateng lalu berpindah ke bara. Anak-anak kost dengan hepatitisnya. Kesehatan mahal harganya, karena pada dasarnya kami tidak mengenal baik keberadaannya. Dengan segala keterbatasan. Darmaga adalah tempat dimana kemewahan bagi mahasiswa miskin seperti saya, adalah bisa cukup tidur nyenyak, disampung mesin ketik dengan kertas berisi laporan terserak.

Hingga, saat itu tiba. Graha Widya Wisuda, Januari 1994 tepatnya. Mata orangtua kami berkaca-kaca. Ayah dan ibu kami datang dari penjuru desa dengan dada membusung karena bangga, anaknya lulus dari sebuah kampus.

Kisah hidup yang satu telah selesai, maka menyusul kisah hidup yang baru.

Darmaga, adalah saksi bisu.

Tidak ada komentar: