
Akhir Juni lalu -tepatnya yanggal 30 Juni, kebetulan pas berbarengan hari kelahiranku- Sindo berulang tahun ke tiga. Masih balita. Tapi akselerasi yang luar biasa di awal terbitnya, membuat beberapa koran yang sudah mapan jeri melihatnya.
Tak penting benar membicarakan apa yang telah mereka lakukan hingga ulang tahunnya yang ketiga. Kadang datar, tetapi kadang penuh kejutan. Terbitnya SINDO sore cukup menggetarkan, walau tidak ditunjang dengan strategi pemasaran yang pas dan matang, disusul dengan penutupan edisi sore itu juga cukup membingungkan. Hikayat yang beredar, SINDO sore ditutup karena tak laku dijual, hanya dibagi gratis dan tak menghasilkan uang. Barangkali bukan tak laku dijual, namun tim pemasarannyanya tak bisa menjual. Ya, karena untuk edisi sore -walaupun bukan hal yang baru-baru banget- mereka pioneer.
Kini, setelah tiga tahun, saya mulai kehilangan SINDO. Dia menghilang dari dekapan pengecer dan tak muncul dari jepitan yang digantung tukang koran pinggir jalan. Ada apa ?
Kabar yang beredar, peredaran mereka turun tak keruan. Barangkali karena kenaikan harga, atau bisa jadi karena korannya tak pernah berubah tampilan. Walau ketebalan halamannya sangat menyenangkan pembantu di rumah (karena kecipratan rezeki dari koran kiloan); berita yang ditulis di SINDO nyaris seperti pengumuman di papan kelurahan, datar tanpa ekspresi dan gejolak. Tak layak memang disandingkan dengan Koran Tempo-misalnya. Apalagi Kompas.
Dan saya, adalah salah satu pelanggan yang meninggalkan koran ini, saat usianya menjelang 3 tahun.
Ada semacam kebosanan. Tapi, saya tak tahu bagaimana mereka mengaturnya di dalam. Tapi, buktinya, SINDO sudah sulit dijumpai di jalan. Bukan tak mungkin juga mereka juga punya problem di pemasaran. SINDO harus segera bebenah, sebelum dana yang dikucurkan semakin membuncah, kerugiannya juga nya makin melimpah.