Selasa, 28 Januari 2014

PINDAH ALAMAT

Salam,

Para pembaca blog saya yang budiman, terhitung mulai 1 Januari 2014, BLOG saya ini dipindahkan ke alamat baru : http://basri-adhi.blogspot.com

Semoga tetap setia mengikuti tulisan-tulisan saya, semoga ada manfaatnya.

Terimakasih

Basri Adhi

Kamis, 07 Februari 2013

Surat seorang Ayah untuk Anak-Anaknya






Assalamu'alaikum anak-anakku,

Hari ini matahari ceria, tak seperti kemarin yang selalu bergayut mendung.
Mungkin matahari melihat senyum kalian tadi pagi saat berangkat ke sekolah.
Semoga bahagia harimu hari ini di sekolah, nanti kita nikmati lagi makan bareng di warung tenda sebagaimana tradisi kita di hari jumat.

Anakku, maafkan ayah kalau surat ini mengganggu keceriaanmu.
Mungkin besok atau lusa kita akan jarang bertemu lagi, 
kita akan jarang bisa berdebat dan berdiskusi.
Ayahmu punya banyak salah yang harus ditebus.

Maafkan ayah karena selama ini tak bisa membahagiakanmu, 
sebagaimana teman-teman kalian yang diantar dengan mobil mengkilap yang interiornya berbau wangi.
Jangankan mobil, untuk memberi uang sakupun ayah sudah tak sanggup lagi

Maafkan ayahmu karena sering menghardik karena kalian malas belajar atau malas sholat,
Karena, Tak ada lagi yang bisa ayah bawa ketika mati selain ilmu yang bermanfaat serta doa kalian : anak-anak yang sholeh.

Maafkan ayah karena tak bisa selalu menungguimu belajar, karena ayah harus terus mencari peluang agar bisa sekedar bertahan hidup dan makan.
Tapi, Tak akan ada yang bisa menghapus rasa lelah serta menghentikan keringat ayah kecuali senyum ceria kalian.

Maafkan ayah, karena saat kalian melewatkan masa kecil dulu, ayah juga sering tak bisa bersama kalian.
Bekerja dan bekerja dari pagi hingga malam mengejar materi yang berbuah kesia-siaan.

Maafkan ayah, karena-mungkin- ayah tak bisa menyaksikan kalian tumbuh dewasa menjadi orang-orang yang pintar, karena ada perjuangan dan prinsip yang akan ayah tegakkan.  
Hidup tanpa prinsip, akan menjadi apa gerangan.  Kadang, walau sulit, arus kehidupan harus kita lawan, karena kebanyakan kita tumbuh kuat karena perlawanan.

Maafkan ayah, tak bisa menyediakan harta yang berlimpah.  Yang ayah punya hanya semangat yang tak kunjung padam.  Ayahmu dulu orang susah, maka apa sulitnya menjadi orang susah kini? 

Ayah tahu, kalian selalu menangkap apa yang telah ayah sampaikan tentang hidup dan kehidupan.  
Tentang benar atau salah, tentang prinsip dan tujuan hidup.  Hanya itu bekal yang bisa ayah bagikan.

Banyak kesalahan ayah yang tak patut kau tiru, karena ayah juga manusia.  Ayah hanya berusaha menjadi manusia yang sebaik-baiknya.

Maafkan ayah dan selamat menggapai masa depan.

Wassalamu'alaikum

Dari,

Ayahmu yang berlumur salah.

Jumat, 07 Desember 2012

Surat untuk Kawan di Selatan

Jikalau ini akan menjadi akhir sebuah gerakan, saya berharap ini adalah gerakan yang baik. Maksudnya sederhana, hanya membuka yang gelap karena ditutupi dan membongkar skenario yang dipendam rahasia. 

Saya -selalu- percaya tim yang "zonder hierarchy" akan lebih mudah mencapai kejayaannya, karena pribadi yang merdeka akan lebih kreatif dan berfikir terbuka; tanpa dihantui oleh sekat jenjang tingkatan, apalagi ketergantungan atas materi semata.  Kalaupun ada jabatan, itu hanya "brevet" semata.  Dia tak selalu berhubungan dengan kreatifitas dan kepintaran, dia hanya berhubungan dengan waktu serta posisi atas bawah, kiri dan kanan.  Bahkan, jabatan bisa juga lebih dekat ke soal keberuntungan.

Bila gerakan ini nanti ada hasilnya, saya berharap hasilnya baik dan bermanfaat buat kita semua. Tapi bilapun tak ada, jangan itu menyurutkan langkah kita untuk terus mencari kebenaran dan kemerdekaan. Karena Jiwa yang Bermartabat, adalah Jiwa yang Merdeka.

Saya percaya kata Goenawan Mohamad, "Selalu bersiaplah menjadi manusia yang terus memperbaiki keadaan, tetapi bersiap pula untuk melihat bahwa perbaikan itu tidak akan pernah sempurna dan ikhtiar itu tidak pernah selesai"

Saya tak pernah memilih menjadi lawan- dari siapa saja,  saya hanya terilhami kata Ayu Utami : "bukankah sebuah garis lurus selalu memiliki dua seberang? Dan kita pasti hanya bisa berada di sebuah seberang pada satu waktu.  Kita harus memilih.  Maka, ketika pilihan itu sudah dibuat, jangan benci seberangmu.  Kita membutuhkan "lawan" untuk membuat sebuah garis lurus.  Jadi, jangan benci lawanmu, jangan benci yang beda darimu".

Hanya saja saya tak pernah betah melihat "penindasan" itu berlangsung, bagaimanapun halusnya dia dikemas. Biarlah saya merugi seumur hidup, tapi keyakinan harus ditegakkan. Tak ada penilaian manusia yang perlu ditunggu, sepanjang Tuhan masih setia memantauku. Tuhan itu Ada.

Kita menunggu, karena kita telah mencoba sebisa kita, salah atau benar kita serahkan kepadaNya. Jadi kalau kata Handry satriago, "Ketakutan adalah mekanisme paling primitif untuk "survive", kita berharap bisa berada dalam golongan orang yang tegak berdiri menantangnya, dan bukan lari terbirit sambil kencing di celana."

Terima kasih atas doa dan dukungannya, salam untuk semua.

Kamis, 06 Desember 2012

Maka Cafe ini Seperti Hidup Kita (catatan 28 Oktober 2011)


Saya tulis catatan ini di sebuah cafe kecil, di pojok ruang tunggu keberangkatan terminal 1C bandara Soekarno Hatta.  Ini barangkali seri perjalanan terakhir saya -tahun ini- bersama MISTERBLEK berkeliling Indonesia menjajakan kopi dan bisnis kopi.  Di cafe ini, kopinya lumayan saja, tak terlalu istimewa.  Tapi lalu lalang orang yang keluar masuk lebih menarik perhatian saya.

Saya tak tahu pasti, bapak yang berkumis lebat dengan batik mengkilapnya, mau ke mana.  Atau gadis tomboy, dengan MacPro di kempitannya.  Tapi mereka nampak bergegas, barangkali karena tak mau ketinggalan pesawat yang akan membawanya.

Dan itulah gambaran kecil hidup kita.

Di cafe yang kita cuma bisa singgah, kita bisa memilih tersenyum kepada para barista, atau memasang muka garang di hadapan mereka.  Di sini kadang kita ingin singgah lama, tapi karena panggilan dari loudspiker, membuat kita bergegas meninggalkan cafe dan menuju pesawat yang menunggu.  Masing-masing punya tujuan, dengan pilihan saling menyapa di cafe ini, atau cuek saja.  Itulah hidup.

Kadang, di dunia ini kita tak sadar bahwa kita seperti mampir ngopi di cafe.  Kita bisa tak jujur berbicara kepada lawan bicara kita, karena bohongpun mereka tak akan tahu.  Toh, hanya ketemu cuma sekejap dan langsung berpisah.   Bohong dan jujur adalah pilihan belaka.  Dalam hidup kita juga seperti itu adanya.  Untuk sebuah tujuan, kadang kita sibuk membuat kebohongan dimana-mana.

Lalu, seorang ibu, yang terseok dengan barang bawaan dan anak kecil yang menggelendotinya bergegas pergi.  Cangkir kopi dan gelas jus terserak di atas meja, hingga waiter sibuk membersihkannya.  waiter berbaju hijau berekspesi datar membersihkan meja, mengelap dan merapikannya.  Barangkali itu beban hidupnya, membersihkan serakan sampah dan gelas kotor di cafenya.  Dalam hidup yang bergegas ini, kita juga tak beda.  Kadang kita meninggalkan kesalahan, tanpa mau -atau sempat- membersihkannya.  Hingga seseorang yang akan dengan tulus mengelap dan menyapunya.  Bahkan tanpa kita tahu bagaimana perasaannya.  Yang penting, urusan kita sudah selesai.

Maka cafe ini adalah dunia.  Kita lewat, mampir ngopi, meninggalkan gelas kosong dan kotor serta bergegas menuju pesawat yang membawa kita.  Pilihan kita, jujur pada kawan bicara kita, tak meninggalkan kotoran di meja dan selalu membuka mata : bahwa kita tak tahu kapan kita harus keluar dari sana.

Hidup tak selalu sulit, buat kita yang jujur melaluinya.

Kamis, 21 Juni 2012

Selewat Kisah

Lulus dari IPB 1994, sebagaimana umumnya mahasiswa biasa-biasa saja, cita-cita saya hanya satu : BEKERJA.  bekerja di kantor, pakai dasi, suatu saat nanti belajar nyetir mobil dan bisa memilikinya.  Sederhana saja, karena bapak-ibu saya tak mampu membeli mobil, jadi saya harus punya mobil.  

Terus terang minat saya dalam dunia jurnalistik sangat besar.  Boleh dibilang karir jurnalistik sudah saya rintis sejak dini, menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Dinding semasa SMA.  Tapi sebagai pemred, pekerjaannya merangkap sebagai reporter, penulis, redaktur, illustrator dan ditemani pak Bon (panggilan untuk penjaga sekolah, dari kata Bapak (Tukang) Kebon) sebagai ASPEL (Asisten Tempel), setiap senin menempelkan majalah dinding edisi terbaru di mading sekolah.  Waktu itu, kalau tulisan saya dibaca cewek-cewek, dan puisi-puisi yang saya bikin dikutip.... bangganya minta ampun.  Serasa selebritis macam WS Rendra atau Goenawan Mohamad.   Waktu itu jaman kondang LUPUS, maka idola saya adalah Hilman Hariwijaya (wartawan hai yang menulis cerbung LUPUS). 

Masuk IPB tahun 1989, ketertarikan pada dunia jurnalistik tak pupus.  Ditambah di IPB banyak yang lulusannya menjadi wartawan kondang, setiap sabtu (maklum anak daerah, nggak bisa sering-sering pulang ke kampung halaman...nggak kuat di ongkos) selalu saya lewatkan dengan ikut pelatihan jurnalistik, keliling dari satu fakultas ke fakultas lain.  Puncak karir jurnalistik saya di IPB adalah menjadi PEMIMPIN REDAKSI majalah KATALIS, majalah Fakultas teknologi Pertanian IPB.  kalau disini organisasinya sudah lumayan serius.  Nggak ada lagi pak Bon yang jadi Aspel.  Itu hingga tahun 1994 (sebenarnya saya lulus ujian akhir 1993, tapi karena wisuda baru ada Januari 1994 dan ada adik kelas yang saya taksir  -kini jadi istri saya- hingga medio 1994 saya masih rajin ke kampus).  Sambil banyak mengirim banyak lamaran pekerjaan -maklum anak kampung tanpa koneksi, dengan IP pas-pasan, saya tetap berusaha produktif menulis : paling tidak menulis puisi buat pacar.  Hingga September 1994 saya diterima bekerja di REPUBLIKA ... sebuah kebetulan yang luar biasa, mengingat saya ikut arus teman-teman senagkatan mengirim lamaran ke ASTRA dan banyak bank yang lagi berjaya waktu itu.  Jadi petani?  saya pikir hanya 2% lulusan IPB yang bercita-cita jadi petani.  maka saya termasuk di 98% nya ...

Tahun pertama di REPUBLIKA, bergaji Rp 350ribu/bulan adalah masa paling bersemangat dalam hidup saya.  jabatan saya : SE alias Sales Executive Sirkulasi.  Job Desc.-nya dari mulai begadang malam di percetakan, keliling ke agen, nongkrong di perempatan nungguin pengecer (maklum waktu itu REPUBLIKA belum genap setahun, pengecer masih malas bawa).  maka saya selalu berseloroh, bahwa kulit saya yang tadinya putih -seperti Rafi Ahmad- menghitam karena terlalu banyak berjemur di perempatan jalan.  Dulu saya pikir, saya dikerjain senior-senior saya melakukan "pekerjaan hina" untuk ukuran kelas alumni IPB.  bahkan saya menghindari hadir ke reuni pada awal2 masa kerja saya, karena minder bertemu teman-teman yang wangi karena bekerja di bank.

Di Republika-lah, saya anak kampung, bisa hafal setiap sudut tikus jakarta.  Di Republika-lah pertama kali dalam hidup saya bisa menyetir mobil sendiri, senior saya -Pak Surato, kini jadi pengusaha Real Estate di Sawangan - yang nyemplungin saya bawa mobil bak terbuka untuk pertama kali, dan alhasil hari pertama saat bisa bawa mobil sendiri, dua becak terserempet di daerah Curug Tangerang.  Hari kedua, menabrak mobil pak Eri Sadewo-petinggi Dompet Dhuafa-sewaktu parkir mundur.  Kisah selama bekerja di Republika sudah saya tulis sebagian di buku saya "TITIK (tidakbisa) BALIK".  Di Republika  juga saya bisa berkesempatan "bersalaman" dengan idola-idola saya sewaktu mahasiswa : Parni Hadi, Zaim Uchrowi, dan Farid Gaban.

Tapi perjalanan waktu menyadarkan saya, bahwa gemblengan senior-senior saya sangat berguna.  Awal tahun 1997 saya dipercaya menjadi pimpinan tertinggi usaha di sebuah tabloid milik REPUBLIKA,  tabloid ADIL.  hanya perlu waktu tiga tahun untuk emncapai puncak etape satu dalam karir saya, Alhamdulillah.  Saksi hidup perjalanan jungkir balik di tabloid ADIL (yang kelak menjadi tabloid Politik Terbesar, setelah DETIK) masih ada : mas basuki Wibowo yang sekarang menjadi SE kita di GOSPORT. 3px;">
Awal 1998 saya ditarik kembali ke Republika, menjadi Junior Sales, ini semacam promosi jabatan karena keberhasilan membawa ADIL sukses besar waktu itu.  Tapi kemamapanan tidak nyaman buat saya.  Pada tahun itu, saya bergabung ke majalah DR.  Sebuah majalah krimimal yang disulap menjadi "majalah perjuangan" para alumni TEMPO yang tidak bisa mendapatkan SIUPP. "klandestin" menurut pendapat rezim waktu itu.  Di sanalah saya bersentuhan dengan Pak Dahlan Iskan, Pak Margiono dan Para Direksi TEMPO yang kemudian menjadi LIFETIME TEACHER dalam hal pengelolaan media.  Skuad Goenawan Mohamad yang artistik dan idealis sejati, Fikri Jufri yang flamboyan dan dikenal banyak kalangan, (alm) Yusril Djalinus konseptor ulung dan (alm) Zulkifli Lubis yang ketat menjaga gawang operasional (Keuangan, SDM dan Umum) adalah teladan yang hebat.  Saya kira, puja-puji pak Dahlam pada Skuad ini bukan basa-basi.
Pada tahun itu juga, menjelang reformasi, bulan Juli ketika mulai banyak demo dan kerusuhan terjadi, DR membuat gebrakan dengan Cover bergambar Soeharto sebagai kartu KING.  Rezim mengamuk, majalah ini terancam dibredel.  Dan disinilah, saya mengalami pengalaman yang luar biasa : diinterograsi di Mabes Polri, menginap dua hari di sana dengan tuduhan super serius "Turut mengedarkan material untuk MAKAR".  Kalau semua terbukti jalan saya sebagai TAHANAN POLITIK sudah terbuka lebar.  
Tahun Tuhan tidak pernah Tidur.  Reformasi terjadi, maka para calon pesakitan ini (saya, pak Margiono, pak Bambang Boedjono/Bambu, pak Edy RM) lepaslah sudah.  Dan saat itulah memonetum majalah TEMPO terbit kembali. 

Sebagai manajer Sirkulasi Majalah TEMPO, yang saat terbit perdana oplahnya 150ribu, saya bisa berkeliling Indonesia, dan saat itu pertama kali dalam hidup saya bisa menginjak Singapura.  Anak kampung keluar negeri.  Semua pelosok sudah saya jelajahi, berkenalan dengan semua agen (yang sebagian kini sudah bangkrut, bahkan meninggal).  Tahun 2002 KORAN TEMPO lahir.  Dia lahir dengan beban berat bayang-bayang majalah TEMPO, dan bahkan skuad hebat manajemen harus diperkuat lagi dengan hadirnya pak Leonardy Kusen, salah seorang orang kepercayaan pak Ci.  Pak Leo-demikian saya memanggil- adalah peletak dasar manajemen modern di TEMPO, setelah pak Yusril Djalinus (alm).  Bersama pak Leo, tidak ada lagi sistem manual, semua komputised.  Hal pertama yang dibenahinya adalah CASH FLOW management.  Saat itu, TEMPO satu-satunya koran yang cash flow managementnya dibantu sebuah software khusus.  Tapi Koran TEMPO keberatan beban.  

Tahun 2002, dengan jabatan Marcomm Manager (Marketing Communication) saya tinggalkan TEMPO.  Anak kampung yang dulu tak punya mobil, sudah bisa mencicil  Daihatsu Taruna saat itu.  Dua anak saya adalah anak TEMPO, karena lahir dengan cesar  dibiayai penuh oleh TEMPO.  Maka, dalam perjalanan karir saya, TEMPO juga istimewa.  Pada Tahun 2002 itu saya tinggalkan TEMPO, dan ini masa berkelana.  Sepanjang 2002-2004 tak kurang majalah Business Week, TRUST saya jelajahi.  Pada masa itu kembimbangan soal pilihan karir mulai merayap.  Bisnis demi bisnis dijalan, dan semua-Alhamdulillah- gagal total.

Tahun 2003, saya kembali masuk koran, bersama TRIBUN JABAR (dulu namanya METRO Bandung).  Disini saya banyak bertemu banyak teman, dan banyak belajar manajemen ala KOMPAS.  Sebagai Wakil Pemimpin Perusahaan, saya cukup punya akses ke semua lini, dan banyak hal yang saya pelajari dari sebuah koran lokal bermodal super cekak tapi bisa survive dan kini sudah memiliki kantor dan percetakan sendiri.  
Maka, kalau hari ini ada yang bilang bikin koran harus modalnya super besar, maka pendapat itu akan patah berkeping bila melihat bagaimana TRIBUN JABAR membangun dirinya.  Semangat, militanisme SDM nya didukung Leader (Direksi) yang super serius dan bekerja sangat keras, memberikan tuturan bahwa uang akan datang selama kita mau bekerja keras.  tapi TRIBUN tak lama buat saya.  Mantan atasan di TRUST, memanggil saya kembali ke jakarta.  Bimantara mau bikin koran, SINDO mau lahir.  

Bersama beberapa teman, karena kami belum punya kantor waktu itu, kami sering rapat di sebuah warung nasi uduk, pojok tikungan Komplsk Ruko warung jambu-Bogor.  Disitu dirumuskan strategi melahirkan sindo, terutama melawan domninasi Kompas yang sudah pasang kuda-kuda melarang agennya membawa sino.  David vs Goliath.  Tapi, saya merasa -barangkali itu geer- perang itu telah kami menangkan.  Nyatanya sindo masih eksis sampai hari in, dan bisa jadi kini menjadi salah satu koran terbesar setelah Kompas dan Jawa Pos.

Masa-masa di Sindo juga kalah kalah getir.  Tapi dengan jabatan GM Marketing waktu itu, fasilitas mobil mewah -paling tidak untuk ukuran saya waktu itu - sebuah Honda All New Civic Brand new, bahkan wangi kulit interornya masih kecium sampai sekarang; saya merasa mimpi saya sudah paripurna.  Dan disana, paling tidak besar peran saya membuka biro-biro di semua propinsi di Jawa.  
Tahun 2006 saya putuskan kemapanan itu, untuk mencari tantangan yang berbeda, jualan kopi.  Hingga Agustus 2011, Facebook mengantarkan saya pada Asto Subroto, yang tadinya menjadi alumni panutan kami adik-adiknya di IPB (belakangan saya pikir, saya musti revisi pendapat soal alumni panutan itu).  September 2012 masuklah saya membantu lahirnya sebuah koran olahraga : katakan mereknya OLAH.  OLAH ketika saya masuk, saya lihat tak banyak obstacle atau kendalanya.  Produk ini unik (olahraga, tak banyak saingannya).  Bisa dijual.  Tapi, belajar dari perjalanan saya, kita musti tahu bahwa :

1. Bisnis media adalah bisnis PADAT KARYA.  Sehebat apapun peran teknologi IT, Peran manusia sedemikian dominannya.  manusia yang memiliki emosi, perasaan, dan memiliki kebutuhan-kebutuahn dasar.  Karena kebutuhan itulah, para manusia itu bekerja.  Maka sangat mengherankan bagi saya, ketika pmimpin media tak memikirkan nasib anak buahnya, yang nota bene asset utama mereka.  tanpa wartawan, atau tenaga pengepakan di percetakan, maka jalan koran tak sempurna.

2. koran adalah bisnis low profit, high profile.  Siapa tak tahu Republika?  Tapi apakah ketenaran Republika lantas linier dengan besar gaji para karyawannya?  Tidak juga.  Maka prinsip kesederhanaan, efisiesn, speed tinggi (ingat : waktu adalah uang) menjadi sangat krusial di koran.  menunda satu hal 1 jam, akan berakibat fatal.  Nggak percaya?  Muat berita tabrakan hari ini di koran lusa, InsyaAllah koran bakal jadi retur.

3. Sering salah ditafsirkan, bahwa oplah besar adalah sumber bencana.  Maka, jangan heran, bila koran2 yang kolaps, gejala pertamanya adalah mengurangi oplahnya.  Padahal, oplah makin besar; biaya per unit sirkulasi dan distribusinya makin kecil, ARTINYA kemungkinan mencipta margin makin besar.  PERSOALAN besarnya adalah : bagaimana membuat koran itu LAKU.  Disitu letak tantangannya.  Ketika oplah dipangkas, maka perusahaan makin tak efisien (kan overhead spt gaji, operasional tdk berkurang?), tingkat display rendah (iklan malas masuk, koran banyak tak teredar).... maka kolaps lah sudah.  

Maka : bila ada persoalan besar yang harus diselesaikan adalah bagaimana asset manusia nya sejahtera, lalu oplahnya terjaga, penjualannya tumbuh, dan uangnya dikelola dengan sedemikian cermatnya.  Baru selebihnya.

Dan itu, berdasar cerita pengalaman saya yang berlumpur dosa, akan jadi awal kesuksesan kita.  dalam sejarah karir saya, OLAH memiliki kantor dengan fasiltas yang paling hebat, maka pantasnya gosport juga bisa lebih hebat dari tempat saya bekerja dulu.  Berkarir di media adalah sebuah jalan hidup, bukan halte di sebuah persimpangan hidup.  Butuh dedikasi, integritas dan komitmen.
Ini saatnya, kita maju atau tenggelam sama sekali.  Kalau Koran lain bisa maju, tentu kita juga bisa .  salam semangat tukang koran !  

Rabu, 18 April 2012

Kisah paling Nyata, Ada di Dekat Anda ...


Tadi pagi, seperti biasa, sambil menyeduh kopi saya sempatkan membaca beberapa kabar dari teman di situs jejaring sosial. Sebuah kisah tentang seorang tua penjual amplop di depan msjid Salman ITB menyeruak. Di zaman amplop menjadi komoditi yang terpinggirkan, beliau tetap setia menjualnya. Di zaman yang yang makin serakah dan tak punya hati nurani, beliau hanya setia pada keuntungan Rp 25,- per lembar amplop yang dijualnya. yang bahkan, bila amplopnya laku 100 lembar, keuntungannya tak cukup untuk membeli sebungkus nasi dari warteg.

Tapi kisah itu jauh, saya tak mengenal si Pak Tua, saya jarang lewat Masjid Salman, karena saya tinggal di Bogor. Dan, di dekat saya ada kisah serupa, saya temukan di kantor tempat saya "bantu-bantu" bikin kopi dan teh.

Ada pak Saman-sebut saja begitu. sudah 18 tahun bekerja di kantor ini. Sejak kantor ini belum ada kursi katanya. Tugasnya dulu membagi-bagikan koran promosi, hingga kini setelah 18 tahun posisinya tetap -kurang lebih- sama. Di antara pasang surut kantor ini, ketika tiba saat tak bergaji, dia berkeliling sepanjang kebayoran lama : menjajakan bubur ayam. Sang istri, tak jauh beda : hingga kini tekun menjual gorengan dan makanan kecil di sebuah SMP di kebayoran lama. Perjuangan yang luar biasa. Pak Saman tak mengeluh, dan bercerita bangga tentang anak-anaknya yang telah "mentas" dan bekerja semua. Sang anak pertama, kebanggan keluarga, kini sudah enam tahun ada di Papua, bekerja dan beranak pinak di sana. Cita-cita pak Saman dan sang istri : ingin segera bertemu sang anak dan menantu di Papua.

Lalu ada mas Basuki. Saya sebenarnya mengenalnya sudah lama, dari tahun 1995 kami sudah pernah bekerja bersama-sama. Penguasaannya di lapangan, membuatnya koran yang saya bantu ini masuk dengan mulus di lapangan. Tapi, mas Basuki masih belum bisa menikmati hasilnya. Setiap hari, dia bergantian dengan istrinya "mengojek". pagi dan Sore hari, saat anak-anak tetangga memerlukan ojek untuk berangkat dan pulang sekolah, sang istrilah yang bekerja. Sang istri membawa motor, mengantar jemput anak-anak tersebut. Tunggu dulu, sebelum itu, sejak lepas subuh, mereka berdua bahu-membahu membuat susu kedelai yang dijual pada tetangga dan kantin skolah anak mereka. Malam hari, selepas kerja di kantor, mas Basuki yang turun "beroperasi". Di daerah bekasi timur dia mangkal di pangkalan ojek, kadang hingga dini hari menunggu penumpang. Jangan bayangkan sabtu dan minggu mereka bisa piknik atau berbelanja. Itu semua mereka lakukan demi dua nak mereka yang mulai beranjak remaja. Tahun ini, si sulung akan masuk sebuah sekolah dengan sistem ikatan dinas di kota Bogor. Cita-cita harus setinggi langit.

pak Saman dan mas basuki adalah para pejuang sejati. Di saat tekanan hidup semakin keras, mereka tak memilih menyerah, mereka "melawan" dengan kerja ekstra keras dan usaha yang pantang berhenti. Mereka tak mau korupsi, atau manipulasi. Cita-cita mereka besar untuk anak-anak mereka.

Maka, sebagaimana pak Tua penjual amplop di depan masjid Salman ITB, patutlah saya salut pada mereka, perjuangan mereka mengisnpirasi saya.

Kamis, 12 April 2012

Memilih jalan yang sulit


Manusia tempatnya kekeliruan, tapi belajar untuk memperkacil kekeliruan juga sebuah keharusan. Kadang, sudah disediakan rezeki jalan yang mudah, tapi kita menutup mata : dan memilih jalan yang sulit.

Saya buka cerita saya.

Sudah kurang lebih enam bulan ini, disamping mengelola kedai kopi (www.misterblek.co.cc) , saya membantu penerbitan sebuah Harian /Koran. Ya-terus terang- itu hobby saya : bikin koran (nggak pake modal). Biasanya kalau koran itu sudah jalan, sudah mulai banyak terjadi "perebutan pengaruh dan kekuasaan" itu tandanya saya harus hengkang. Mengambil pilihan hidup lain yang lebih indah.

Sebagaimana ketika membangun Republika, majalah dan koran Tempo, koran Sindo : tahapannya mulai dilakukan. Karena dunia koran adalah dunia penuh labirin, atau kata para generasi Alay, penuh jebakan betmen : ada kala manajemen kejeblos-kejeblos sedikit. Nggak apa, ini kan yang bikin seru?

Tapi, untunglah, pengalaman sebagai kutu loncat pindah sana-nemplok sini, membuat rasa kaget-kagetan atau gampang heran-heranan sudah ogah nempel lagi. Di awalnya semua dibangun dengan mulus, malah dalam waktu 4 bulan koran ini sudah mencapai jumlah peredaran yang lumayan mencengangkan, sales juga nggak jelek-jelek amat untuk ukuran koran yang "tidak diapa-apain"; tidak ada program penjualan, tidak ada promosi tidak ada hingar-bingar. Kata senior saya di Tempo, mas Wahyu Muryadi : Ngglundhung Semprong.

Masalah yang dihadapi di lapangan sangat generik, standar dan memang tidak ada hal baru (barangkali itu juga yang bikin saya cepet bosan bertahan di satu koran, dan pengennya pindah ke koran lain : selain karena iming2 gaji lebih gede). Dan hal lain yang generik, adalah pusingnya manajemen menghadapi harga cetak yang boncos tiap hari bayar, dan tingkat retur yang belum bisa mengimbangi penjualan. Tapi, namanya juga koran baru, harusnya memang ini jalan yang musti dilalui. Kata suhu saya : No Shortcut, Just Acceleration.

Dan dalam situasi seperti ini, entah kenapa, selalu ada saja muncul pendekar kesiangan. Merasa dengan "analisa di belakang meja" semua masalah bisa mereka selesaikan; padahal pengetahuan masih cekak. Dengan jurus "jilat-jilat sedikit" maka dimulailah manuver dari mulai "sidak" sampai laporan"asbun".

Biasanya, dari apa yang sudah terjadi sudah-sudah, ini justru awal kehancurannya. Karena pengetahuan yang kurang, analisa yang dangkal, keputusan yang diambil keliru. Mau untung malah buntung. Kena jebakan betmen, kata anak alay.

Yang saya heran, apa sulitnya saling percaya. Kalau saling percaya, jalan yang terbentang akan mudah. Mosok sih saya segitu "gendheng"-nya mau njeblosin tempat saya dimintain bantuan. Secara akal sehat, dengan segala jungkir balik di masa lalu, nggak mungkinlah saya mau gegabah bikin strategi. Keledai aja nggak mau kejeblos dua kali di lobang yang sama. Karena ini soal reputasi, saya musti mikir : eh, siapa tahu kalau koran ini sukses, saya bisa ngegarap koran lain supaya sukses juga. Jualan saya kan reputasi.

Jadi, mereka memilih jalan yang sulit. "Sidak" nggak pakai strategi, "Turba" tapi nggak jelas apa yang dicari. Alhasil yang didapat hanya kulit ari masalah, dan pasti...pasti... keputusan yang diambil juga akan salah. Sulit bener.

Tapi, biarlah, itu kan soal pilihan. Kalau kita mengelola koran, kalau koran kita sudah dibawa pengecer dan tak ada yang "didudukin" atau "ditimbun" agen, maka pekerjaan kita tinggal ringan, geber sales-nya : perbaikan produk, jangan datang telat dan sediain bujet buat bikin program penjualan. Bukan ngurusin monopoli oplahnya, karena bukan itu akar persoalannya.

Justru lupa, bahwa hajat hidup koran itu di iklan, itu yang musti dipelototi dan digenjot. Rame-rame jualan. Tapi, karena cari iklan sulit, maka dia menjadi tak sexy. Resikonya terlalu besar untuk jadi bedak dan pupur cari muka.

Sekali lagi, itu soal pilihan. Sambil siul-siul saya balik lagi nyeruput kopi : Nggak Ngopi, Nggak Trendy.