Kamis, 21 Juni 2012

Selewat Kisah

Lulus dari IPB 1994, sebagaimana umumnya mahasiswa biasa-biasa saja, cita-cita saya hanya satu : BEKERJA.  bekerja di kantor, pakai dasi, suatu saat nanti belajar nyetir mobil dan bisa memilikinya.  Sederhana saja, karena bapak-ibu saya tak mampu membeli mobil, jadi saya harus punya mobil.  

Terus terang minat saya dalam dunia jurnalistik sangat besar.  Boleh dibilang karir jurnalistik sudah saya rintis sejak dini, menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Dinding semasa SMA.  Tapi sebagai pemred, pekerjaannya merangkap sebagai reporter, penulis, redaktur, illustrator dan ditemani pak Bon (panggilan untuk penjaga sekolah, dari kata Bapak (Tukang) Kebon) sebagai ASPEL (Asisten Tempel), setiap senin menempelkan majalah dinding edisi terbaru di mading sekolah.  Waktu itu, kalau tulisan saya dibaca cewek-cewek, dan puisi-puisi yang saya bikin dikutip.... bangganya minta ampun.  Serasa selebritis macam WS Rendra atau Goenawan Mohamad.   Waktu itu jaman kondang LUPUS, maka idola saya adalah Hilman Hariwijaya (wartawan hai yang menulis cerbung LUPUS). 

Masuk IPB tahun 1989, ketertarikan pada dunia jurnalistik tak pupus.  Ditambah di IPB banyak yang lulusannya menjadi wartawan kondang, setiap sabtu (maklum anak daerah, nggak bisa sering-sering pulang ke kampung halaman...nggak kuat di ongkos) selalu saya lewatkan dengan ikut pelatihan jurnalistik, keliling dari satu fakultas ke fakultas lain.  Puncak karir jurnalistik saya di IPB adalah menjadi PEMIMPIN REDAKSI majalah KATALIS, majalah Fakultas teknologi Pertanian IPB.  kalau disini organisasinya sudah lumayan serius.  Nggak ada lagi pak Bon yang jadi Aspel.  Itu hingga tahun 1994 (sebenarnya saya lulus ujian akhir 1993, tapi karena wisuda baru ada Januari 1994 dan ada adik kelas yang saya taksir  -kini jadi istri saya- hingga medio 1994 saya masih rajin ke kampus).  Sambil banyak mengirim banyak lamaran pekerjaan -maklum anak kampung tanpa koneksi, dengan IP pas-pasan, saya tetap berusaha produktif menulis : paling tidak menulis puisi buat pacar.  Hingga September 1994 saya diterima bekerja di REPUBLIKA ... sebuah kebetulan yang luar biasa, mengingat saya ikut arus teman-teman senagkatan mengirim lamaran ke ASTRA dan banyak bank yang lagi berjaya waktu itu.  Jadi petani?  saya pikir hanya 2% lulusan IPB yang bercita-cita jadi petani.  maka saya termasuk di 98% nya ...

Tahun pertama di REPUBLIKA, bergaji Rp 350ribu/bulan adalah masa paling bersemangat dalam hidup saya.  jabatan saya : SE alias Sales Executive Sirkulasi.  Job Desc.-nya dari mulai begadang malam di percetakan, keliling ke agen, nongkrong di perempatan nungguin pengecer (maklum waktu itu REPUBLIKA belum genap setahun, pengecer masih malas bawa).  maka saya selalu berseloroh, bahwa kulit saya yang tadinya putih -seperti Rafi Ahmad- menghitam karena terlalu banyak berjemur di perempatan jalan.  Dulu saya pikir, saya dikerjain senior-senior saya melakukan "pekerjaan hina" untuk ukuran kelas alumni IPB.  bahkan saya menghindari hadir ke reuni pada awal2 masa kerja saya, karena minder bertemu teman-teman yang wangi karena bekerja di bank.

Di Republika-lah, saya anak kampung, bisa hafal setiap sudut tikus jakarta.  Di Republika-lah pertama kali dalam hidup saya bisa menyetir mobil sendiri, senior saya -Pak Surato, kini jadi pengusaha Real Estate di Sawangan - yang nyemplungin saya bawa mobil bak terbuka untuk pertama kali, dan alhasil hari pertama saat bisa bawa mobil sendiri, dua becak terserempet di daerah Curug Tangerang.  Hari kedua, menabrak mobil pak Eri Sadewo-petinggi Dompet Dhuafa-sewaktu parkir mundur.  Kisah selama bekerja di Republika sudah saya tulis sebagian di buku saya "TITIK (tidakbisa) BALIK".  Di Republika  juga saya bisa berkesempatan "bersalaman" dengan idola-idola saya sewaktu mahasiswa : Parni Hadi, Zaim Uchrowi, dan Farid Gaban.

Tapi perjalanan waktu menyadarkan saya, bahwa gemblengan senior-senior saya sangat berguna.  Awal tahun 1997 saya dipercaya menjadi pimpinan tertinggi usaha di sebuah tabloid milik REPUBLIKA,  tabloid ADIL.  hanya perlu waktu tiga tahun untuk emncapai puncak etape satu dalam karir saya, Alhamdulillah.  Saksi hidup perjalanan jungkir balik di tabloid ADIL (yang kelak menjadi tabloid Politik Terbesar, setelah DETIK) masih ada : mas basuki Wibowo yang sekarang menjadi SE kita di GOSPORT. 3px;">
Awal 1998 saya ditarik kembali ke Republika, menjadi Junior Sales, ini semacam promosi jabatan karena keberhasilan membawa ADIL sukses besar waktu itu.  Tapi kemamapanan tidak nyaman buat saya.  Pada tahun itu, saya bergabung ke majalah DR.  Sebuah majalah krimimal yang disulap menjadi "majalah perjuangan" para alumni TEMPO yang tidak bisa mendapatkan SIUPP. "klandestin" menurut pendapat rezim waktu itu.  Di sanalah saya bersentuhan dengan Pak Dahlan Iskan, Pak Margiono dan Para Direksi TEMPO yang kemudian menjadi LIFETIME TEACHER dalam hal pengelolaan media.  Skuad Goenawan Mohamad yang artistik dan idealis sejati, Fikri Jufri yang flamboyan dan dikenal banyak kalangan, (alm) Yusril Djalinus konseptor ulung dan (alm) Zulkifli Lubis yang ketat menjaga gawang operasional (Keuangan, SDM dan Umum) adalah teladan yang hebat.  Saya kira, puja-puji pak Dahlam pada Skuad ini bukan basa-basi.
Pada tahun itu juga, menjelang reformasi, bulan Juli ketika mulai banyak demo dan kerusuhan terjadi, DR membuat gebrakan dengan Cover bergambar Soeharto sebagai kartu KING.  Rezim mengamuk, majalah ini terancam dibredel.  Dan disinilah, saya mengalami pengalaman yang luar biasa : diinterograsi di Mabes Polri, menginap dua hari di sana dengan tuduhan super serius "Turut mengedarkan material untuk MAKAR".  Kalau semua terbukti jalan saya sebagai TAHANAN POLITIK sudah terbuka lebar.  
Tahun Tuhan tidak pernah Tidur.  Reformasi terjadi, maka para calon pesakitan ini (saya, pak Margiono, pak Bambang Boedjono/Bambu, pak Edy RM) lepaslah sudah.  Dan saat itulah memonetum majalah TEMPO terbit kembali. 

Sebagai manajer Sirkulasi Majalah TEMPO, yang saat terbit perdana oplahnya 150ribu, saya bisa berkeliling Indonesia, dan saat itu pertama kali dalam hidup saya bisa menginjak Singapura.  Anak kampung keluar negeri.  Semua pelosok sudah saya jelajahi, berkenalan dengan semua agen (yang sebagian kini sudah bangkrut, bahkan meninggal).  Tahun 2002 KORAN TEMPO lahir.  Dia lahir dengan beban berat bayang-bayang majalah TEMPO, dan bahkan skuad hebat manajemen harus diperkuat lagi dengan hadirnya pak Leonardy Kusen, salah seorang orang kepercayaan pak Ci.  Pak Leo-demikian saya memanggil- adalah peletak dasar manajemen modern di TEMPO, setelah pak Yusril Djalinus (alm).  Bersama pak Leo, tidak ada lagi sistem manual, semua komputised.  Hal pertama yang dibenahinya adalah CASH FLOW management.  Saat itu, TEMPO satu-satunya koran yang cash flow managementnya dibantu sebuah software khusus.  Tapi Koran TEMPO keberatan beban.  

Tahun 2002, dengan jabatan Marcomm Manager (Marketing Communication) saya tinggalkan TEMPO.  Anak kampung yang dulu tak punya mobil, sudah bisa mencicil  Daihatsu Taruna saat itu.  Dua anak saya adalah anak TEMPO, karena lahir dengan cesar  dibiayai penuh oleh TEMPO.  Maka, dalam perjalanan karir saya, TEMPO juga istimewa.  Pada Tahun 2002 itu saya tinggalkan TEMPO, dan ini masa berkelana.  Sepanjang 2002-2004 tak kurang majalah Business Week, TRUST saya jelajahi.  Pada masa itu kembimbangan soal pilihan karir mulai merayap.  Bisnis demi bisnis dijalan, dan semua-Alhamdulillah- gagal total.

Tahun 2003, saya kembali masuk koran, bersama TRIBUN JABAR (dulu namanya METRO Bandung).  Disini saya banyak bertemu banyak teman, dan banyak belajar manajemen ala KOMPAS.  Sebagai Wakil Pemimpin Perusahaan, saya cukup punya akses ke semua lini, dan banyak hal yang saya pelajari dari sebuah koran lokal bermodal super cekak tapi bisa survive dan kini sudah memiliki kantor dan percetakan sendiri.  
Maka, kalau hari ini ada yang bilang bikin koran harus modalnya super besar, maka pendapat itu akan patah berkeping bila melihat bagaimana TRIBUN JABAR membangun dirinya.  Semangat, militanisme SDM nya didukung Leader (Direksi) yang super serius dan bekerja sangat keras, memberikan tuturan bahwa uang akan datang selama kita mau bekerja keras.  tapi TRIBUN tak lama buat saya.  Mantan atasan di TRUST, memanggil saya kembali ke jakarta.  Bimantara mau bikin koran, SINDO mau lahir.  

Bersama beberapa teman, karena kami belum punya kantor waktu itu, kami sering rapat di sebuah warung nasi uduk, pojok tikungan Komplsk Ruko warung jambu-Bogor.  Disitu dirumuskan strategi melahirkan sindo, terutama melawan domninasi Kompas yang sudah pasang kuda-kuda melarang agennya membawa sino.  David vs Goliath.  Tapi, saya merasa -barangkali itu geer- perang itu telah kami menangkan.  Nyatanya sindo masih eksis sampai hari in, dan bisa jadi kini menjadi salah satu koran terbesar setelah Kompas dan Jawa Pos.

Masa-masa di Sindo juga kalah kalah getir.  Tapi dengan jabatan GM Marketing waktu itu, fasilitas mobil mewah -paling tidak untuk ukuran saya waktu itu - sebuah Honda All New Civic Brand new, bahkan wangi kulit interornya masih kecium sampai sekarang; saya merasa mimpi saya sudah paripurna.  Dan disana, paling tidak besar peran saya membuka biro-biro di semua propinsi di Jawa.  
Tahun 2006 saya putuskan kemapanan itu, untuk mencari tantangan yang berbeda, jualan kopi.  Hingga Agustus 2011, Facebook mengantarkan saya pada Asto Subroto, yang tadinya menjadi alumni panutan kami adik-adiknya di IPB (belakangan saya pikir, saya musti revisi pendapat soal alumni panutan itu).  September 2012 masuklah saya membantu lahirnya sebuah koran olahraga : katakan mereknya OLAH.  OLAH ketika saya masuk, saya lihat tak banyak obstacle atau kendalanya.  Produk ini unik (olahraga, tak banyak saingannya).  Bisa dijual.  Tapi, belajar dari perjalanan saya, kita musti tahu bahwa :

1. Bisnis media adalah bisnis PADAT KARYA.  Sehebat apapun peran teknologi IT, Peran manusia sedemikian dominannya.  manusia yang memiliki emosi, perasaan, dan memiliki kebutuhan-kebutuahn dasar.  Karena kebutuhan itulah, para manusia itu bekerja.  Maka sangat mengherankan bagi saya, ketika pmimpin media tak memikirkan nasib anak buahnya, yang nota bene asset utama mereka.  tanpa wartawan, atau tenaga pengepakan di percetakan, maka jalan koran tak sempurna.

2. koran adalah bisnis low profit, high profile.  Siapa tak tahu Republika?  Tapi apakah ketenaran Republika lantas linier dengan besar gaji para karyawannya?  Tidak juga.  Maka prinsip kesederhanaan, efisiesn, speed tinggi (ingat : waktu adalah uang) menjadi sangat krusial di koran.  menunda satu hal 1 jam, akan berakibat fatal.  Nggak percaya?  Muat berita tabrakan hari ini di koran lusa, InsyaAllah koran bakal jadi retur.

3. Sering salah ditafsirkan, bahwa oplah besar adalah sumber bencana.  Maka, jangan heran, bila koran2 yang kolaps, gejala pertamanya adalah mengurangi oplahnya.  Padahal, oplah makin besar; biaya per unit sirkulasi dan distribusinya makin kecil, ARTINYA kemungkinan mencipta margin makin besar.  PERSOALAN besarnya adalah : bagaimana membuat koran itu LAKU.  Disitu letak tantangannya.  Ketika oplah dipangkas, maka perusahaan makin tak efisien (kan overhead spt gaji, operasional tdk berkurang?), tingkat display rendah (iklan malas masuk, koran banyak tak teredar).... maka kolaps lah sudah.  

Maka : bila ada persoalan besar yang harus diselesaikan adalah bagaimana asset manusia nya sejahtera, lalu oplahnya terjaga, penjualannya tumbuh, dan uangnya dikelola dengan sedemikian cermatnya.  Baru selebihnya.

Dan itu, berdasar cerita pengalaman saya yang berlumpur dosa, akan jadi awal kesuksesan kita.  dalam sejarah karir saya, OLAH memiliki kantor dengan fasiltas yang paling hebat, maka pantasnya gosport juga bisa lebih hebat dari tempat saya bekerja dulu.  Berkarir di media adalah sebuah jalan hidup, bukan halte di sebuah persimpangan hidup.  Butuh dedikasi, integritas dan komitmen.
Ini saatnya, kita maju atau tenggelam sama sekali.  Kalau Koran lain bisa maju, tentu kita juga bisa .  salam semangat tukang koran !  

Tidak ada komentar: