Kamis, 12 April 2012

Memilih jalan yang sulit


Manusia tempatnya kekeliruan, tapi belajar untuk memperkacil kekeliruan juga sebuah keharusan. Kadang, sudah disediakan rezeki jalan yang mudah, tapi kita menutup mata : dan memilih jalan yang sulit.

Saya buka cerita saya.

Sudah kurang lebih enam bulan ini, disamping mengelola kedai kopi (www.misterblek.co.cc) , saya membantu penerbitan sebuah Harian /Koran. Ya-terus terang- itu hobby saya : bikin koran (nggak pake modal). Biasanya kalau koran itu sudah jalan, sudah mulai banyak terjadi "perebutan pengaruh dan kekuasaan" itu tandanya saya harus hengkang. Mengambil pilihan hidup lain yang lebih indah.

Sebagaimana ketika membangun Republika, majalah dan koran Tempo, koran Sindo : tahapannya mulai dilakukan. Karena dunia koran adalah dunia penuh labirin, atau kata para generasi Alay, penuh jebakan betmen : ada kala manajemen kejeblos-kejeblos sedikit. Nggak apa, ini kan yang bikin seru?

Tapi, untunglah, pengalaman sebagai kutu loncat pindah sana-nemplok sini, membuat rasa kaget-kagetan atau gampang heran-heranan sudah ogah nempel lagi. Di awalnya semua dibangun dengan mulus, malah dalam waktu 4 bulan koran ini sudah mencapai jumlah peredaran yang lumayan mencengangkan, sales juga nggak jelek-jelek amat untuk ukuran koran yang "tidak diapa-apain"; tidak ada program penjualan, tidak ada promosi tidak ada hingar-bingar. Kata senior saya di Tempo, mas Wahyu Muryadi : Ngglundhung Semprong.

Masalah yang dihadapi di lapangan sangat generik, standar dan memang tidak ada hal baru (barangkali itu juga yang bikin saya cepet bosan bertahan di satu koran, dan pengennya pindah ke koran lain : selain karena iming2 gaji lebih gede). Dan hal lain yang generik, adalah pusingnya manajemen menghadapi harga cetak yang boncos tiap hari bayar, dan tingkat retur yang belum bisa mengimbangi penjualan. Tapi, namanya juga koran baru, harusnya memang ini jalan yang musti dilalui. Kata suhu saya : No Shortcut, Just Acceleration.

Dan dalam situasi seperti ini, entah kenapa, selalu ada saja muncul pendekar kesiangan. Merasa dengan "analisa di belakang meja" semua masalah bisa mereka selesaikan; padahal pengetahuan masih cekak. Dengan jurus "jilat-jilat sedikit" maka dimulailah manuver dari mulai "sidak" sampai laporan"asbun".

Biasanya, dari apa yang sudah terjadi sudah-sudah, ini justru awal kehancurannya. Karena pengetahuan yang kurang, analisa yang dangkal, keputusan yang diambil keliru. Mau untung malah buntung. Kena jebakan betmen, kata anak alay.

Yang saya heran, apa sulitnya saling percaya. Kalau saling percaya, jalan yang terbentang akan mudah. Mosok sih saya segitu "gendheng"-nya mau njeblosin tempat saya dimintain bantuan. Secara akal sehat, dengan segala jungkir balik di masa lalu, nggak mungkinlah saya mau gegabah bikin strategi. Keledai aja nggak mau kejeblos dua kali di lobang yang sama. Karena ini soal reputasi, saya musti mikir : eh, siapa tahu kalau koran ini sukses, saya bisa ngegarap koran lain supaya sukses juga. Jualan saya kan reputasi.

Jadi, mereka memilih jalan yang sulit. "Sidak" nggak pakai strategi, "Turba" tapi nggak jelas apa yang dicari. Alhasil yang didapat hanya kulit ari masalah, dan pasti...pasti... keputusan yang diambil juga akan salah. Sulit bener.

Tapi, biarlah, itu kan soal pilihan. Kalau kita mengelola koran, kalau koran kita sudah dibawa pengecer dan tak ada yang "didudukin" atau "ditimbun" agen, maka pekerjaan kita tinggal ringan, geber sales-nya : perbaikan produk, jangan datang telat dan sediain bujet buat bikin program penjualan. Bukan ngurusin monopoli oplahnya, karena bukan itu akar persoalannya.

Justru lupa, bahwa hajat hidup koran itu di iklan, itu yang musti dipelototi dan digenjot. Rame-rame jualan. Tapi, karena cari iklan sulit, maka dia menjadi tak sexy. Resikonya terlalu besar untuk jadi bedak dan pupur cari muka.

Sekali lagi, itu soal pilihan. Sambil siul-siul saya balik lagi nyeruput kopi : Nggak Ngopi, Nggak Trendy.

Tidak ada komentar: