Selasa, 03 Maret 2009

Only The Good Die Young (In Memoriam ARIS AHMADI)

Sejauh yang saya tahu, namanya Ahmadi. Tapi semua teman-temannya memanggilnya Aris. Perawakannya yang tinggi besar, seringkali, menakutkan bagi orang yang pertama kali mengenalnya.

Saya mengenalnya 15 tahun lalu, di Republika. Seperti juga orang yang pertama kali mengenalnya, saya juga rada takut melihat penampilan luarnya. Namun, tak perlu waktu lama untuk tahu bahwa : Aris yang teman yang jenaka dan setia.

Selama empat tahun kami menjadi rekan sekerja. Banyak hal yang saya ingat soal dia. Aris seorang pekerja keras, dulu dia adalah penjaga gawang Administrasi Sirkulasi di Republika (bersama temen karibnya : Mas Uyanto atau mas UY kami biasa sapa). Ratusan nomor registrasi agen dihapalnya luar kepala, itu yang membuat kami kagum kepadanya.

Karena tinggal di Bojonggede-yang kebetulan sejalur dengan saya- tak jarang kami berada di kereta yang sama saat berangkat kerja. Kebiasaan kami sama, datang pagi-pagi karena takut terlambat karena ketinggalan kereta dan pulang tepat waktu, supaya bisa naik kereta yang sama: kereta yang berangkat 17.46 dari Stasiun Pasar Minggu Jakarta. Perawakannya yang besar cukup membantu saya menaklukan desakan para penumpang lainnya. Setiap sore sepanjang empat tahun lamanya, kami bersama berlari keluar dari basement Republika, mengejar angkot yang sama menuju Stasiun Pasar Minggu untuk kemudian bermandi peluh dalam kereta.

Tahun 1998, kami mengambil persimpangan yang berbeda. Saya keluar dari Republika dan Aris masih setia didalamnya. Hingga tahun 2004, kami dipertemukan kembali dalam di sebuah persimpangan yang sama. Seputar Indonesia.

Aris di Seputar Indonesia, tidak serta merta menjadi Aris yang berbeda. Ketekunan, kepolosan dan kesetiannnya masih ada, tak hilang dibilas waktu.
Di Seputar Indonesia, kami berada di lokasi kerja yang sama, namun dalam posisi yang sudah berbeda. Tapi bagaimanapun kami adalah teman lama.

Perjuangan di Seputar Indonesia, adalah perang di lapangan yang pertama baginya. Jaringan distribusi yang dibinanya (wilayah Bogor) di tekan habis oleh KOMPAS (yang dimotori oleh Manager Sirkulasinya : Sugeng Hari S beserta bala kurawanya). Aris, kadang masih tergagap menghadapi itu semua. Maklum, ini adalah perang pertamanya. Kami, temen-temennya tak henti selalu mendukung dan mendorongnya, untuk terus maju-bersama- memenangkan peperangan.

Dengan “bambu runcing” seadanya kami berperang melawan kedzaliman ideology KOMPAS – yang direpresentasi oleh tim sirkulasinya- yang melarang agennya menjual SEPUTAR INDONESIA. Tak Cuma kami, agen-agen juga diam-diam mendukung kami. Aris berada di dalam tim kami, semangatnya tak putus tak henti.

Jaman terus bergulir, waktu terus berjalan. Kembali, kami mengambil persimpangan yang berbeda. Tim Kompas yang dulu menjegal kami saat memperjuangkan SINDO –karena tak lagi dipakai lagi di sana – berbalik masuk ke SINDO; dan menjadi atasan langsung Aris. Jaman menjadi serba paradoks. Sebagian besar pasukan militan yang sempat menjadi teman-teman Aris memutuskan keluar dari Komando peperangan karena tak mau dipimpin oleh tim yang dulu menjegal mereka. Namun, Aris dengan segala pertimbangannya, memilih untuk tetap tinggal di dalam.

Kami hormat dan respek atas segala keputusan yang telah diambilnya. Walau sudah berada di beda persimpangan, kami tetap teman bagaimanapun juga. Tapi itu awal yang berat baginya.

Dua kali sejak kami tak lagi sering bersua, Aris kambuh penyakit jantung yang telah lama diidapnya. Dua kali pula, Aris sampai harus menjalani perawatan di Rumah Sakit. Beberapa kali saya mendengar keluh kesahnya. Dari soal pekerjaan yang makin lama menghimpitnya, atasan-atasan yang tak tahu harus berbuat apa untuk membantunya, hingga rasa ditinggalkan oleh temen-temen lama.

Padahal kami tak meninggalkannya. Berupaya untuk bisa hidup di kerasnya Jakarta, kadang membuat kami abai untuk bertegur sapa.

Hingga kemarin-Senin 2 Maret 2008, saya mendengar kabar, Aris teman baik saya, Aris yang polos, baik hati, setia kawan dan jenaka telah pergi meninggalkan kami selamanya. Penyakit jantung yang diidapnya kambuh, dia meninggal di pelukan mbak Evi-istri tercintanya. Usainya belum lagi 41 tahun saat meninggalnya.

Aris, kami tak akan bisa lupa. Mulai saat ini dan besok -dalam setiap kesempatan dan perjuangan, akan kami jadikan engkau monumen dan teladan bagi kita semua. Perjuanganmu yang belum selesai akan kami lanjutkan. Maafkan kami -teman-teman lamamu- yang mungkin telah abai. Kami adalah teman-teman lama, dan akan tetap menjadi teman dalam doa. Karena kami, sesungguhnya tak punya apa-apa.

Tidak ada komentar: